Wednesday, May 16, 2007

Tangis Ki Hajar Dewantara

Cita-cita pendidikan masih jauh dari kenyataan, bahkan di dalam praktiknya semakin banyak anomali. Prinsip asih, asuh, dan asah yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara jadi aktual kembali untuk merengkuh tujuan hakiki pendidikan, yaitu meningkatkan mutu manusia Indonesia agar cerdas dan berakhlak mulia.

Hari Pendidikan Nasional yang jatuh tanggal 2 Mei, diulas di dalam hampir semua tajuk rencana harian ibu kota, Ja­karta. Pada hari yang sama (02/05/2007), harian Kompas menyoroti makin banyaknya anomali—penyimpangan atau tidak nor­malnya—praktik pendidikan di Indonesia. Tidak hanya menyangkut soal ujian nasional, tetapi juga pemberlakuan di­siplin dengan kekerasan fisik.

Menurut koran sangat berpengaruh ini, anomali pendidikan perlu dikembalikan kepada semangat dasar pendidikan yang berorientasi pada anak didik. Prinsip asih, asuh, dan asah yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara niscaya aktual kembali di tengah tantangan global. Tiga acuan kebijakan yang perlu diterapkan, yaitu mengembangkan peserta didik belajar untuk tabu, belajar untuk berbuat, dan belajar untuk hidup bersama.

Tajuk Media Indonesia menyoroti pendidikan dari sudut anggaran. Koran ini mengulas gugatan PGRI kepada Mahkamah Konstitusi agar gelar uji ma­terial terhadap UU APBN 2007 yang menetapkan anggaran pendidikan 11,8%, MK sendiri sudah dua kali meng­ingatkan pemerintah agar bersungguh­sungguh memenuhi porsi 20% anggaran pendidikan sebagaimana yang diama­natkan oleh UUD 1945• Karenanya, MK tanpa ragu memutuskan bahwa alokasi anggaran yang tidak genap 20% me­nyalahi UUD.

Namun menurut MI, Mahkamah tidak tegas menyatakan bahwa pemerintah te­lah melanggar UUD. Hanya memberi pe­ringatan agar pemerintah bersunguh­sungguh melaksanakan perintah konsti­tusi. MI berpendapat, seharusnya perin­tah konstitusi, apalagi yang sangat ekspli­sit, tidak bisa multitafsir. Ketidak­mampuan memenuhi perintah UUD adalah pelanggaran berat, bahkan sangat berat.

MI memaklumi persoalan yang dihada­pi pemerintah, seperti memakan buah simalakama. Memenuhi anggaran pendi­dikan 20%, berarti melabrak rasionalitas potensi riil keuangan negara, sedangkan mengabaikannya sama artinya meng­hianati konstitusi. Namun menurut MI, persoalan besar dalam pendidikan negeri

ini tidak semata-mata menyangkut per­sentase anggaran. Persoalan sesungguh­nya, bahkan yang terutama, justru pada orientasi penggunaan uang demi tujuan hakiki pendidikan An sendiri, yaitu me­ningkatkan mutu manusia Indonesia agar mampu bersaing dalam percaturan global.

Saran MI, kalau pemerintah sungguh­sungguh berjuang tulus meningkatkan mutu pendidikan nasional, dari pada membangun kantor sebuah direktorat yang menyaingi kemewahan supermall, mengapa tidak membangun sistem jaring­an komputer ke sekolah-sekolah supaya anak didik mulai memiliki akses global.

Sedangkan Bisnis Indonesia dalam tajuknya mengulas masalah pendidikan dari sudut pemerataan. Hari kelahiran tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, 2 Mei (1889) diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Arti­nya perguruan Taman Siswa yang didiri­kan tokoh pendidikan yang bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat itu, telah melahirkan banyak talon pemimpin negeri.

BI hanya mengingatkan bahwa kerja keras Ki Hajar di dalam dunia pendidikan belum mampu mengangkat bangsa agar sepenuhnya mandiri di bidang pendi­dikan. Saat ini, betapa banyak anak yang belum atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Indikatornya jelas. Di kota besar, banyak anak yang berkeliaran pada jam sekolah. Sebagian dari mereka tampak lusuh dan mengemis. Di tempat lain, masih banyak anak yang belajar di alam terbuka lantaran bangun­an sekolah yang sudah rent atau ambruk.

Di pendidikan tinggi pun cukup banyak tedadi ketimpangan, terlebih setelah sta­tus sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik di negeri ini diubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Kini, dengan kecerdasan di atas rata-rata pun, tamatan SLTA yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah akan sangat kesulitan untuk kuliah di PTN tersebut. PTN favorit terkesan hanya menerima anak dari keluarga mampu. Dari alam sang, Ki Hajar Dewantara mungkin mena­ngisi betapa upaya yang dirintisnya kini nyaris tidak berlanjut.

Harian sore Sinar Harapan menyoroti pendidikan yang dikaitkan dengan un­dangan UNESCO kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyam­paikan pidato kunci pada pembukaan sidang umum badan tersebut. UNESCO mengundang Presiden Susilo lantaran In­donesia dinilai sukses melaksanakan komitmen pendidikan untuk semua, sebagaimana tercantum dalam Millenium Development Goals.

Tulis SH, pengakuan UNESCO tersebut sangat menggembirakan. Namun itu bukan akhir, melainkan awal dari per­juangan di bidang pendidikan. Masih banyak yang harus dibenahi supaya bangsa Indonesia mampu membangun, memajukan, memelihara dan menjaga kewibawaan negara. Dalam beberapa tahun terakhir bangsa ini dilecehkan dan dipaksa mengikuti kehendak negara lain, seperti dalam kasus Timor-Timor dan Sipadan-Ligitan.

Negara lain bisa memaksakan kehen­dak karena bangsa ini dianggap lemah; di dalam kekuatan militer, perekonomian, kesiagaan, dan kelekatan social. Salah satu sebab dari kelemahan itu, berpangkal pada bidang pendidikan yang tidak bisa mengliasilkan manusia Indonesia yang cerdas sekaligus berakhlak mulia.

SH menganggap kecerdasan dan akh­lak harus berkaitan sebab para koruptor dan mitranya dalam pemerintahan pun terdiri dari prang-prang yang pandai namun tak berakhlak. Pendidikan juga mesti mampu menyadarkan bahwa ke­bahagiaan tidak identik dengan ke­pemilikan harta yang melimpah dengan cara-cara tidak benar.

(Sumber Berita Indonesia – Edisi 38/2007).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Bisnis di Internet