Monday, June 13, 2011

PANJI GUMILANG DAN IMPLEMENTASI DERADIKALISASI

Oleh: Ir. Muh. Hatta Tahir

Tahun-tahun awal saya ngampus di Bogor, adalah awal persinggungan saya dengan berbagai aktivis organisasi kampus dengan berbagai ideologi-ideologinya, yang bisa dibagi dalam dua mainstream gerakan kampus : bersifat politis dan gerakan Islam. Politis disini juga dapat dibagi lagi menjadi politis berdomain kampus dan politis nasional. Politis kampus yang saya maksudkan karena saat itu terjadi persaingan antara fakultas kehutanan, berseteru dengan fakultas perikanan dan peternakan, memperebutkan dominasi atas sebuah asrama kampus, yang seringkali berujung pada tawuran massal. Dan saya pun terlibat dalam tawuran itu. Dengan jiwa muda - ditambah fanatisme kefakultasan, kami menyerang fakultas kehutanan. Ini semua terjadi, juga akibat provokasi dari para mahasiswa senior, saat itu.

Sementara itu di luar kampus, politik nasional juga sedang hangat-hangatnya karena saat itu sedang ramai-ramainya demonstrasi untuk menggulingkan Presiden Suharto. Bersama dengan teman-teman IPB lainnya saya bergerak menyerbu Senayan dengan kekuatan empat armada bis kampus bergabung dengan mahasiswa dari kampus lain, hanya untuk satu kata “lengserkan Suharto dan kroni-kroninya”.

Untuk gerakan Islam kampus sebenarnya terbagi atas gerakan Islam moderat model kerohisan- kerohaniawan Islam dan gerakan Islam kampus yang bersifat radikalfundamentalis transnasional produk import dari Timur tengah, seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), IM (Ikhwanul Muslimin ) serta ormas-ormas Islam lainnya. Khusus untuk gerakan Islam kampus terakhir, semuanya bergerilya underground , berebut pengaruh di kalangan mahasiswa. Utamanya pada mahasiswa baru yang masih hijau atau minim akan pengalaman dan pemahaman keislaman, istilahnya saat itu : mahasiswa antena pendek.

Mereka sedang mencari identitas diri dan jati diri. Awal persinggungan itu biasanya saat-saat ospek , masa orientasi mahasiswa baru dilaksanakan. Dengan modal senioritas beberapa aktifis mahasiswa lama mencoba approach untuk memasukkan nilai-nilai ideologi gerakananya pada mahasiswa baru tersebut dengan tujuan agar mereka bisa bergabung. Hal ini biasanya dilakukan oleh aktivis HTI dan IM.

Hizbut Tahrir dengan agenda khilafahnya yang bertujuan membentuk kekhalifahan Islam di dunia berusaha melebarkan sayap pengaruhnya di tengah-tengah mahasiswa dengan berbagai macam kegiatan-kegiatan keislaman seperti kajian-kajian dari satu kamar kos ke kamar kos lainnya, dari masjid ke masjid lainnya.

Begitu pun dengan IM (Ikhwanul Muslimun) organisasi yang konon underbow PKS itu, dengan model tarbiyah dan halaqoh liqanya juga berusaha menggaet anggota baru dengan kegiatan seperti pameran atau bazaar buku-buku islam dan juga seminar-seminar. Salah satu seminar yang pernah diadakan adalah dengan mengundang tokoh yang cukup vocal pada zamannya, Abdul Qodir Jaelani, seorang mantan anggota DPR dari Partai Bulan Bintang, dan tokoh-tokoh lainnya seperti Ahmad Sumargono, juga Al Chaidar dengan buku terkenalnya saat itu Reformasi Premature , dan banyak lagi.

Saat itu saya memang berada di pusaran aktifitas kampus seperti itu dengan segala dinamikanya dan berbagai ideologinya . Sampai suatu ketika saya ketemu dengan salah seorang senior saya di sebuah laboratorium peternakan dengan membawa sebuah majalah pendidikan berjudul majalah Al - Zaytun dan memperlihatkan kepada saya sambil menjelaskan visi dan misi tentang Ma’had Al Zaytun sebagai Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian, sembari mengajak untuk berdiskusi lebih jauh tentang masalah-masalah keislaman. Goals yang ingin dicapai adalah masyarakat madani, masyarakat Islam berperadaban, memanifestasikan Islam dengan peradaban Islam dan toleransi yang tinggi di dalamnya, diikat oleh piagam ikatan kebangsaan , mengatur masyarakatnya yang berasal dari berbagai suku, berbagai agama, bersatu dibawah ikatan nasional Indonesia.

Ini menarik hati saya, mengetahui adanya sebuah komunitas nun jauh di pedalaman Indramayu yang berusaha membangun sebuah peradaban lewat pendidikan Islam yang mumpuni dengan visi misi Rahmatan lil Alamin dan sebagai Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian. Dari diskusi yang intens dengan kawan tadi itulah saya mulai tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang Ma’had Al Zaytun dan sosok Panji Gumilang. Mulai dengan berlangganan majalah Al Zaytun lalu sesekali berkunjung ke sana, saya merasa ada chemistry dan kesefahaman antara proses pencarian saya pada Islam yang sejuk dengan ide-ide universal Panji Gumilang.

Islam yang berwajah ramah dan jauh dari kesan beringas seperti yang sering saya dengarkan dari ceramah dan kajian-kajian kampus lainnya. Hampir semua kajian-kajian Islam di kampus pernah saya ikuti sehingga saya bisa membandingkan antara satu dengan yang lain tentang cara rekrutment, cara penyampaian dakwahnya sampai pada goals yang ingin dicapai oleh mereka. Hisbut Tahrir dan IM menjadikan masjid kampus sebagai center of activity - basis gerakan dengan blok-blok halaqoh tempat kajian diantara ruang masjid yang ada di lantai satu dan dua, disanalah saya berkenalan dengan para aktivis HT dan IM. Apalagi ada banyak aktivis yang berasal satu daerah dengan saya sehingga mudah akrab.

Pernah suatu saat seorang mentor megajak untuk diskusi dan pengajian dalam sebuah kelompok yang saat itu hanya berjumlah 2 orang, dan teman yang satu lagi kebetulan juga adalah teman satu jurusan di fakultas yang sama. Pada awalnya berjalan seperti biasa dengan materi yang juga biasa dan umum sampai pada suatu moment kajian yang saya anggap sudah menjurus ke arah tertutup dan eksklusif. Karena setiap akhir kajian sang guru biasanya menutup dengan kalimat “ untuk saat ini jangan diekspos dulu cukup kita bertiga saja yang tahu”.

Akhirnya saya lebih banyak berdiskusi dengan senior yang pernah memberikan majalah Al Zaytun itu. Kami satu fakultas namun berbeda jurusan. Satu saran yang berkesan saat diskusi itu adalah ajakan tidak merokok karena merokok adalah aktifitas yang lebih banyak mudhorotnya daripada maslahatnya. Ternyata itu juga dicontohkan oleh para pengurus Al Zaytun, dan para santrinya. Haram merokok adalah sebuah upaya melawan arus, saat dimana masyarakat banyak masih gamang untuk memfatwa masalah merokok, antara haram , halal atau mubahkah?, Al Zaytun waktu itu dengan tegas menyatakan kawasan bebas rokok. Bukankah ini ibarat menempeleng kyai dan ulama yang masih pada doyan merokok ?

Merokok Adalah Jembatan Emas Menuju Narkoba
Ketegasan ini sangat menarik bagi saya, sebuah contoh komitmen Panji Gumilang dan para eksponen dan santri pada sebuah nilai kebaikan. Seperti nilai-nilai kedisiplinan diri, kesehatan dan kemanusiaan dan itulah inti ajaran ketuhanan. Kedisiplinan diri karena dengan larangan merokok, jelas adalah sebuah shoum/aktifitas menahan diri yang luar biasa bagi mereka yang sudah terlanjur kecanduan rokok, nilai kesehatan itu sudah pasti dan nilai Ketuhanan sesuai ayat Qur’an yang berbunyi “Dan (Rosul) itu menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan segala yang buruk …”. (QS. Al-A’rof : 157). Dan janganlah kalian menghamburkan hartamu dengan boros, karena pemboros itu adalah saudaranya setan…” (AS. Al-Isro’: 26-27.

Bukankah merokok bukan hanya merusak diri sendiri namun juga merusak orang disekitar perokok dengan asap rokoknya, dengan demikian perokok sebenarnya sudah melanggar nilai kemanusiaan dengan egoismenya menyerobot hak orang lain untuk hidup sehat? Ada banyak nilai-nilai kebaikan lainnya yang diajarkan oleh Syaykh Panji Gumilang. Contoh lain komitmen Panji Gumilang pada nilai-nilai efesiensi dan kejujuran adalah dengan tidak membiarkan satupun paku tercecer, kata para pekerja bangunan di Ma’had Al Zaytun.

Kesan-kesan yang saya ceritakan diatas adalah sekelumit interaksi, dialog virtual dengan seorang Panji Gumilang, ini saja sudah bisa menunjukkan bagaimana sebenarnya sosok Syaykh Al-Zaytun tersebut. Sebuah kesan yang sangat jauh dari kesan figur radikal dengan konotasi negatif yang akhir akhir ini sangat gencar distempelkan. Tapi beliau justru sangat humanis, toleran dan pluralis serta nasionalis, sangat bertolak belakang dengan berita yang berusaha ditampilkan dan diangkat oleh media nasional baru-baru ini. Ibarat bumi dengan langit, jauh panggang dari api. Namun mungkin itulah realitas pers - media yang masih terkungkung dengan prinsipjurnalisme perang, bukan jurnalisme damai.

Pers-lah juga yang seringkali melabrak nilai-nilainya sendiri, etikanya sendiri seperti cover both side dengan berusaha menggiring opini masyarakat untuk kepentingan para pemilik modal semata, tanpa mengadakan check balance berita sebelum diangkat ke permukaan. Media massa seringkali hanya menggantungkan sumber berita pada nara sumber yang kontra pada Al Zaytun dan sangat jarang sekali mengambil nara sumber yang pro atau paling tidak netral. Sehingga pada akhirnya tujuan pembunuhan karakter pada seorang tokoh atau sebuah lembaga pendidikan benar-diharapkan terjadi secara sistematis - by design, untuk tujuan politis atau mungkin juga kepentingan rating ekonomis dan politik pragmatis semata.

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

jangan mencontoh ini

http://www.freeimagehosting.net/image.php?d39fa2704f.jpg

5:40 PM  
Anonymous Anonymous said...

coba lihat

5:42 PM  
Anonymous  said...

coba lihat lagi

5:43 PM  

Post a Comment

<< Home

Bisnis di Internet