Friday, July 14, 2006

Ketika Wapres Jusuf Kalla Menjawab Kontroversi UN

Demonya Boleh Tiap Hari, Tapi Ujiannya Tahun Depan

Pernyataan, Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu yang mengatakan pemerintah tidak akan mengadakan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus ujian nasional (UN) menuai kritik pedas. Tapi Wapres tetap kukuh, tidak ada ujian ulangan. Minggu malam lalu, didampingi Mendiknas Bambang Soedibyo, Wapress yang mengundang pimpinan media massa nasional memberikan penjelasan atas sikap tegasnya itu di rumah dinasnya, Menteng, Jakarta. Berikut petikan penjelasannya :

Ada paradigma, untuk meningkatkan pendidikan adalah uang , selalu bicara anggaran. Kalau uang tentukan pendidikan, mestinya negara-negara kaya minyak dengan pendapatan perkapita tinggi memiliki kualitas pendidikan tinggi. Tapi, untuk urusan IT (Teknoligi Informasi) justru India. Yang pendapatan perkapitanya seperti kita, dana sangat penting, sama pentingnya dengan system.
Yang mengkhawatirkan, kalau jian didemokratisasikan. Wah, bahaya kalau itu muncul.
Pendidikan kita akan mengalami set back. Tidak ada votingnya. Lulus lewat voting. Anak-anak merasa tidak perlu belajar karena sekian tahun (ujian) lulus terus. Buat apa belajar. Saya ingat bagaimana tahun 50-60an kerasnya ujian itu.
Jangan ada kesan anak-anak itu didemokratisasikan ujiannya. Demokrasi silakan. Tapi jangan di ujian. Demonya boleh tiap hari tapi ujiannya tahun depan. Kalau ada yang mengatakan standar kelulusan 4,32 terlalu tinggi, jangan harap tahun depan kita turunkan menjadi 4,1. nanti tahun depan kita dapat 4,5.
Ada kesan sampai sekarang dipakai orang, harus dikasih lulus karena pendidikan antara Jakarta dengan NTT, NTB, Kendari ada kesan dibedakan. Ada dongkrak nilai. Jika nilai enam di Jakarta, 4 di Kendari maka di konversi agar bisa sama dan lulus. Kalau begini, esensi secara nasional orang Kendari lebih bodoh dari Jakarta. Kenapa mesti berbeda? Nggak boleh begini. Kalau tidak ada standar nasional akan terpecah.
Mulai 2003, UN lagi. Coba dengan standar angka kelulusan 5, Mendiknas mengatakan yang lulus Cuma 45%, coba 4,5 maish. Turun 3,5 diperkirakan antara 10-15 persen tidak lulus. Betul saja 20%. Di Asia, kita kalah dengan Laos. Coa ke Malaysia, Singapura, Filipina. Semua Negara ada ujian nasional. Soal ujian nasional di Singapura saat ini malah yang membuatnya Cabridge.
Kritikan terkait tidak adanya ujian ulangan bagi mereka yang tidak lulus ujian nasional praktis menguap begitu saja, Wapres Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan mengatakan, tidak ada ujian ulangan. Minggu malam lalu saat mengundang pimpinan media massa nasional di rumahndinasnya, Menteng, Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan, di Asia, Indonesia kalah dengan Laos.
Malaysia, Singapura, Filipina, semua ngara ada ujian nasional. Soal ujian nasional di Singapura saat ini malah yang membuatnya Cabridge. Malaysia juga mulai tahun ini. Tahun 50-60an, ujian nasional matematika luar biasa sulit. Tahun 90an begitu gampangnya. Terjadi degradasi. Orang lain naikkan standar nilai, kita menurunkan. Kita mau jadi apa? Mau jadi bangsa kuli?
Kita harus punya kebijakan yang teags dan bertahan. Nanti tiap tahun yang tidak lulus bisa sekitar 10 persen. Tahun depan juga jangan harap lulus semua. Di India saya yang droup out 30 persen. Kita masih butuh waktu 3 sampai 4 tahun lagi untuk mencapai standar yang bagus. Pasti tetap ada yang tidak lulus. Namanya ujian.
Ini dipetakan, anggaran akan dibedakan. Misalnya, NTB lemah di Matematika, oke. Kita akan tambah anggaran di daerah itu untuk perbaiki mutu matematika. Tahun depan semua anak yang mengikuti ujian akan digeledah polisi untuk menghidari masuknya ponsel dan alat komunikasi lain dalam ruang ujian. Harus keras. Dengan cara itu bangsa ini berkeringat. Bangsa ini lembeknya mulai di sekolah.

Pemerintah susah sekali. Hampir tidak mungkin memenuhi anggaran pendidikan 20%. Tapi, percayalah, anggaran pendidikan akan kita tambah terus. Tahun ini sekitar Rp 36 miliar. Tahun depan sekitar Rp 40 miliar. Kalau mau memaksakan untuk menambah berarti harus menggerser anggaran dari pos departemen lain. Bisa, pendidikan maksimal 20% tapi tidak ada anggaran untuk kesehatan dan pembangunan. Sistem ujian yang sebelumnya dengan 100 persen siswa lulus justru dinilai kurang efektif mendongkrak mutu lulusan dan pendidikan. Saya belajar lulus tidak belajar juga lulus. Belajar dan tidak belajar semua lulus 100%. Jadi buat apa belajar. Maka, jadilah kita bangsa yang kesejahteraannya rata-rata do bawah negara lain.(Sumber Indopos – Selasa, 4 Juli 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Bisnis di Internet