Guru, Problem Kualifikasi Akademik
Oleh : Ki Supriyoko*)
Kelayakan mengajar dan kualifikasi akademik tenaga pendidik merupakan salah satu persoalan yang menguras energi dunia pendidikan selama 2006. Apa yang harus dikerjakan pada 2007? Inilah pandangan guru besar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Joyjakarta, Supriyoko. Perbincangan tentang UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen sangat mewarnai perjalanan pendidikan di Indonesia selama 2005; dari yang sekadar mendiskusikan sampai yang tegas-tegas setuju dan menerima atau tidak setuju dan menolak. Perbincangan itu tidak saja melibatkan guru (dan dosen), tetapi juga pihak lain yang merasa berkepentingan seperti pengurus yayasan, orang tua, dan organisasi profesi.
Pihak pemerintah sudah menyosialisasikan UU tersebut. Meski demikian, hingga saat ini ketuntasan sosialisasi itu masih jauh untuk mencapainya. Kalau kita mau jujur, sekarang ini pun lebih banyak guru yang belum memahami UU tersebut dari pada yang sudah. Jangankan memahami, membaca pun belum pernah.
Apakah hal itu berarti para guru kita kurang peduli terhadap nasih diri sendiri? Tentu saja tidak ! Bergabgai keterbagasan melingkupi para guru untuk mengakses produk hukum yang relatif baru tersebut, di samping budaya “mengejar” peraturan memang belum kita miliki.
Lima Kewajiban
Sebagai sebuah profesi, guru di masa mendatang haruslah profesional; suatu hal yang tidak dapt ditawar. Hal itu ditegaskan pada pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang secara eksplisit menyatakan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai peraturan perundang-undangan.
Pada sisi yang lain, kalau kita mengacu pasal 8 UU Guru dan Dosen, di masa-masa mendatang setiap guru harus dapat memenuhi lima kewajiban sekaligus.
Pertama, wajib memilki kalifikasi kademik yang dipersyaratkan. Guru haruslah berpendidikan sekurang-kurangnya diploma empat (D4) atau sarjana (S1). Hal itu berlaku bagi semua guru dari pendidikan anak usia dini sampai sekolah menengah. Artinya untuk menjadi guru TK, SD, SMP, SMA dan SMK, mereka harus berpendidikan minimal D4 atau S1.
Kedua, wajib memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Setiap guru wajib menguasai empat kompetensi sekaligus. Masing-masing adalah komptensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Penguasaan kompetensi tersebut harus diperoleh melalui pendidikan profesi yang diselenggarakan secara legal.
Ketiga, wajib memiliki sertifkat pendidikan. Ke depan setiap guru diwajibkan memilki sertifikat pendidik. Untuk dapat memilkinya, terlebih dahulu guru diwajibkan berpendidikan D4 dan S1. Artinya, seorang guru yang tidak atau belum berpendidikan D4 atau S1 jangan harap dapat memilki sertifikat pendidik sebagaimana yang diwajibkan.
Keempat, wajib sehat jasmani dan rohani. Ke depan, setiap guru wajib memliki kesehatan yang prima, baik kesehatan jasmani maupun rohani. Kalau ada orang yang suka jantungan (jasmani) atau suka berbuat asusila (rohani), guru bukanlah profesi yang tepat bagi dirinya, untuk menyatakan tidak diperbolehkan menjadi guru.
Kelima, wajib memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Setiap guru hendaknya mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui pendidikan yang lebih teknis. Dalam hal ini, tujuan pengajaran menurut bidang studinya masing-masing, termasuk guru yang harus mengajar berbagai bidang studi sekaligus.
Lima kewajiban tersebut merupakan perspektif baru bagi profesi guru di masa mendatang. Lima kewajiban tersebut mengikat. Artinya, akalu ada guru yang tidak memenuhi, gugurlah makna keguruannya.
Permasalahan Kompleks
Aapakah dengan UU Guru dan Dosen tersebut, semua permasalahan guru akan segera tersolusikan? Tentu saja tidak ! Solusi atas permasalahan guru memerlukan waktu beberapa tahun. Sekarang pun permasalahan guru lebih tampak nyata dengan diberlakukannya UU tersebut.
Soal kualifikasi akademi atau pendidikan guru misalnya. Berdasar catatang Balitbang Depdiknas dalam Rangkuman Statistik Persekolahan 2004/005 disebutkan tentang masih banyaknya guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik sebagaimana ditentukan UU.
Untuk guru SMA, misalnya, di antara 244.839 orang, ternyata yang berpendidikan miniman S1 hanya 197.837 orang atau 80,8 persen. Untuk guru SMK, di atara 176.261 orang yang berpendidikan S1, hanya 129.664 orang atau 73.6 persen. Sementara itu, untuk guru SMP, di antara 520.351 orang, ternyata yang berpendidikan S1 hanya 314.584 orang atau 60,5 persen.
Bagaimana dengan guru SD dan guru TK? Guru SD yang memenuhi pendidikan minimal S1 baru sekitar 8 atau 9 persen, sedangkan guru TK baru sekitar 3 atau 4 persen.
Dari angka-angkat tersebut, diperlukan beberapa tahun untuk bisa meng-S1-Kan atau men-D4-kan para guru yagn belum memenuhi syarat. Selanjutnya, permasalahan muncul ketika para guru yang belum memenuhi syarat tersebut tidak bersedia untuk di-S1-kan atau di-D4-kan. Secara empiris, memang banyak guru yang emoh sekolah lagi karena berbagai alasan, sudah sibuk, tidak cucuk, tidak mampu, pikiran mentok, dan alasan lain yang memang sangat rasional.
Permasalahan itu tidak hanya milik guru yang bersangkutan, tetapi juga milik kita semua yang ingin pendidikan di Indonesia lekas maju sebagaimana di negara-negara maju. Sebuah perspektif baru biasanya membawa konsekuensi dan inilah salah satu bentuk konsekuensi !!!
*) Ki Supriyoko, Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, (Sumber Harian Indo Pos – Rabu, 27/12/2006).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home