Sunday, July 16, 2006

Melek Huruf, Masih Perlu Kerja Keras

Upaya untuk meningkatkan pencerdasan kepada masyarakat terus dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Salah satunya adalah meluncurkan program baru. Siaran pendidikan di televisi untuk anak kelas 3 SMP selama Senin hingga Kamis mulai 17 Juli mendatang itu menggandeng TVRI.

Tiga mata pelajaran yang bakal disiarkan merupakan materi yang diujikan di ujian nasional (UN), yakni Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Rencana materi yang masih digogok Pustekkom itu disiarkan tiap pagi, pukul 07.00-09.30. Siaran diulang pukul 14.15-16.30.

Target program itu adalah 28.376 SMP negeri maupun swasta di 353 kabupaten di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah memberikan subsidi dua buah TV berukuran 30 inci untuk tiap SMP. Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 213,690 miliar untuk penyiapan materi sekaligus pengadaan sekitar 75.000 TV. Peluncuran materi pendidikan ini untuk membantu kota kecil mengejar ketertinggalan sehingga mencapai standar yang ditetapkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).

Meski siaran ini merupakan konsekuensi pelaksanaan UN karena dirasa masih ada disparitas mutu dan fasilitas antara kota besar dan kota kecil, dan tidak sedikit menuai protes dari berbagai kalangan, program ini barangkali membantu percepatan peningkatan dunia pendidikan Indonesia. Termasuk pemberantasan buta aksara, meski tidak secara langsung. Apalagi, semua penduduk yang masuk jangkauan wilayah mengudara teve plat merah itu bisa akses siaran.

Beberapa daerah di Indonesia masih mempunyai tingkat buta aksara yang tinggi. Total masyarakat usia 15 tahun ke atas yang mengalami buta huruf karena tidak mengenyam dunia pendidikan sekitar 14,5 jiwa. Dua daerah, Jawa Timur dan Jawa Tengah menempati posisi tertinggi.

Dilihat dari sebarannya, di Jateng paling banyak di empat kabupaten yang masing-masing di atas lima persen. Yakni, Brebes (223.155 jiwa), Tegal (173.172 jiwa), Sragen (173.606 jiwa), dan Wonogiri (170.168). Selain itu, ada 16 kabupaten/kota di Jateng memiliki tingkat buta huruf 2,5 persen sampai 5 persen.

Padahal, Jateng masuk wilayah barat. Di mana, menurut Bambang, angka melek huruf cenderung cukup tinggi di wilayah Indonesia bagian barat, di atas rata-rata 90 persen. Tapi kenyataan di Jateng lebih rendah, di bawah 90 persen. Indeks kemiskinan Jateng 21,11 menurut Bambang memiliki pengaruh terhadap nilai rata-rata ujian nasional (UN).

Sedangkan DKI, masuk kategori zona bebas aksara. Pada 2006 ini prediksi pantauan pemberantasan buta huruf dari gambaran zona merah, DKI termasuk yang paling minim jumlahnya dan terbebas dari tanda merah. Jakarta memiliki Indeks Prestasi Kasar (IPK) dan Indeks Prestasi Murni (IPM) yang cukup tinggi. Dengan kata lain, angka melek huruf di ibu kota cukup tinggi.

Data dari Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta menyebutkan, sekitar 14 ribu jiwa penduduk di Jakarta mengalami buta huruf. Namun menurut kepada Dikmenti DKI Jakarta Margani M Mustar, 90 persen dari jumlah tersebut adalah warga pendatang, bukan asli Jakarta.

Melihat realitas tersebut, pemberantasan buta aksara masih merupakan momok bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sebenarnya, tidak hanya pemerintah, semua pihak harus mempunyai kepedulian agar semua warga melek huruf. Tentunya, bagi mereka yang masih buta aksara mempunyai keinginan yang kuat untuk melek huruf.

Pemahaman bersama sangat penting agar semua persoalan, khususnya percepatan pendidikan keaksaraan terpenuhi. Ini juga harus didukung dengan berbagai fasilitas. Dalam hal ini, pemerintah melalui Depdiknas juga harus memikirkan bagaimana agar terjadi pemerataan pendidikan.

Semua warga, termasuk mereka yang berada di lokasi terpencil mendapat pelayanan dan akses yang mudah untuk memperoleh pendidikan. Di sinilah diperlukan dana yan tidak sedikit.

Rasanya tidak salah jika diperlukan anggaran dana pendidikan yang memadai. Saat ini, anggaran pendidikan yang masuk dalam APBN 2006 hanya 9,1 persen. Padahal, sesuai dengan amanat UUD 1945 harus sampai 20 persen. Untuk memenuhi kuota 20 persen anggaran untuk pendidikan, beberapa waktu lalu, Wapres Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah masih membutuhkan dana sekitar 40 triliun. Dan, untuk memenuhi anggaran 20 persen dari total APBN saat ini sangat berat dipenuhi.

Memang, kalau bicara masalah kendala dunia pendidikan di Indonesia, seperti mengurai benang kusut. Tapi, bagaimanapun sulit dan besar kendala yang dihadapi, semua harus optimistis dan membuka diri bahwa pendidikan sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Untuk itu, perlu kerja keras dan perjuangan.

Rakyat Indonesia harus mampu menjadi bangsa yang cerdas. Ini artinya, melek huruf suatu keniscayaan. Dengan bangsa yang cerdas, kita tidak mkudah dibohongi dan bisa sejajar dengan bangsa lain. (Sumber Indopos – Ahad, 16 Juli 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Bisnis di Internet