Thursday, July 27, 2006

Para Korban UN 2006 Meminta Keadilan

Para siswa yang dinyatakan tidak lulus ujian nasional tingkat SLTA, mengaku sangat kecewa karena kelulusannya hanya ditentukan oleh nilai ujian nasional saja. Padahal diantara mereka banyak siswa berprestasi bahkan telah diterima di perguruan tinggi dalam maupun luar negeri tanpa tes. Haruskah langkah mereka terhenti?

Kekecewaan para siswa itu bukan sekadar mereka lampiaskan dengan air mata. Kompas, (22/6), memberitakan 4 siswa SMA Negeri 10 Jakarta yang tidak lulus ujian nasional (UN) mencoba bunuh diri. Ini bukan lelucon, satu anak kedapatan menyayat pergelangan tangannya dengan pisau silet. Yang lain telah mempersiapkan gelas dan sekaleng obat pembasmi serangga. Satu lagi mengalami sters berat dan mengulang-ulang ucapan "lebih baik aku mati."

Dari kejadian itu dapat tergambar, betapa sistem ujian nasional ini telah merusak mental mereka yang tidak lulus. Padahal banyak diantara mereka tergolong siswa berprestasi karena nilai hariannya selalu masuk peringkat atas. Misalnya, Melati Mukti Pertiwi (17) siswa SMA Negeri 8 Jakarta Selatan yang dinyatakan tidak lulus ujian nasional padahal sejak kecil dia juara kelas. Selama di SMA prestasi belajarnya juga cukup cemerlang. Bahkan dia telah ditawari beasiswa untuk meneruskan studi di Australia dan Jerman karena kemampuan bahasa Jermannya sangat bagus.

Bayu Taruna, siswa kelas III SMA Negeri 71, Jakarta Timur. Sebelumnya anak pasangan Eni an Bambang Purwo Sedono ini telah dinyatakan lulus seleksi penelusuran minat dan bakat (PMDK) di Universitas Brawijaya, Malang Fakultas Teknik Pertania. Namun, langkahnya itu harus terhenti karena dia tidak lulus UN.

Di Kabupaten Semarang, Alex Arida yang pernah menjadi juara Olimpiade Fisikia se-Jawa Tengah juga tidak lulus. Nilai matematika-nya hanya 3,0 padahal dia dikenal sebagai anak pintar dan selalu berada di peringkat I dan II di kelasnya. Dia juga sudah diterima di Universitas Negeri Semarang.

Mencari Keadilan

Kenyataan itu bukan saja memukul Melati, Bayu, Alex Arida dan siswa-siswa berprestasi lain, tapi juga kedua orang tua mereka. Wajar jika mereka lalu meminta keadilan. Sebab selama tiga tahun mereka belajar seolah-olah tak ada artinya. Empat terhadap nasib mereka, berbagai kalangan mendesak Mendiknas agar menggelar ujian nasional susulan. Mereka menilai, dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan telah mengorbankan hak asasi peserta didik dan mengingkari prinsip multi kecerdasan.

Rabu, 21/6 sejumlah orang tua murid dan siswa yang gagal UN berkumpul di Institute for Education Reform Paramadina, Jakarta. Setelah melakukan testimony, mereka bersama-sama menghadap Komisi X di Gedung DPR/MPR untuk segera mendesak pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional untuk memutuskan adanya ujian ulangan.

Mereka juga mendatangi Komnas HAM, menuntut agar ujian ulangan diadakan dan kebijakan UN ditinjau kembali. Suara-suara lain menuntut agar DPR segera membentuk tim independent untuk menginvestigasi apa yang sesungguhnya terjadi di alam penyelenggaraan UN sehingga banyak anak pintar tidak lulus. Selain itu, mereka juga mendatangi Komnas Anak, yang diterima langsung oleh Ketua Komanas Anak, Seto Mulyadi. Seto melihat, hasil UN ini merupakan tragedy yang sangat memukul jiwa anak. Apalagi mereka sampai depresi, mentalnya down dan mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang fatal. Jadi, pemerintah harus menseriusi tragedi ini.

Tak ada Ujian Negara Ulangan

Namun, apapun gejolak yang terjadi, pemerintah tetap menegaskan tidak ada ujian nasional (UN) ulangan. Bahkan Wapres Jusuf Kalla menegaskan tidak ada UN ulangan karena akan merugikan siswa yang lulus dan berdampak buruk terhadap mutu pendidikan nasional. Padahal ada atau tidaknya UN ulangan, bagi siswa yang sudah luus tidak banyak berpengaruh. Sebab UN ulangan hanya untuk siswa yang dinyatakan tidak lulus.

Alternatif yang ditawarkan bagi siswa SLTA yang tidak luls UN adalah mengikuti program kelompok belajar paket C. Jika mereka nanti lulus ujian paket C, maka bisa mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 2006/2007. Untuk itu, Menteri Pendidikan Nasional akan melayangkan surat kepada seluruh rektor perguruan tinggi, termasuk TNI, agar mereka bisa menerima.

Lulusan kelompok belajar paket C setara dengan UN Sistem Pendidikan Nasional. Materi dan standar kelulusan paket itu pun sama seperti UN jalur formal. Untuk lulus harus meraih nilai di atas rata-rata 4,5 dan setiap mata pelajaran harus memperoleh nilai 4,25. Agar lulusan ujian paket C ini dapat dipakai untuk mendaftar di perguruan tinggi, maka ujian kesetaraan paket C ini dipercepat menjadi Agustus dari rencana semula, November 2006. Beberapa perguruan tinggi menyambut baik hasil keputusan pemerintah ini. Namun, masih banyak dikabarkan ada beberapa perguruan tinggi yang masih "piker-pikir."

Bahkan Koran Tempo (27/6), memberitakan, ketua Forum Rektor Eko Budiharjo sempat menyatakan perguruan-perguruan tinggi negeri menolak ijazah paket C. Namun beberapa perguruan tinggi negeri memiliki sikap berbeda. Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, Universitas Gajahmada dan Universitas Sebelas Maret bersedia menerima pemegang ijazah paket C.

Namun demikian, anjuran Menteri itu berbenturan dengan jadwal beberapa perguruan tinggi. Ujian paket C baru akan dilaksanakan akhir Agustus, sementara itu beberapa perguruan tinggi negeri tersebut sudah menutup pendaftarannya sebelum Agustus dan awal September sudah memulai perkuliahan. Selain berbenturan dengan jadwal akademik, panitia penerimaan mahasiswa baru Universitas Sebelas Maret mengaku kesulitan mengakomodasi pemegang paket C.
Rektor universitas itu, Syamsulhadi mengatakan, formulir seleksi peneriman mahasiswa baru tidak menyediakan kolom lulusan di luar SMA dan sederajat. "Kalau mau diterima pendaftaran mereka, formulirnya tidak tersedia," kata Syamsulhadi seperti dikutif Koran Tempo. Lagi-lagi rumitnya aturan menjadikan anak didik sebagai korban system yang masih coba-coba.

(Sumber Majalah Berita Indonesia,– 17/ 2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Bisnis di Internet