Takaran Nilai Lulus dan Tidak
Para pengamat pendidikan berpendapat bahwa takaran lulus dan tidak yang hanya mengandalkan nilai hasil Ujian Nasional adalah tidak fair. Mestinya kelulusan tidak hanya didasarkan pada UN. Karena proses belajar yang sudah dijalani selama 3 tahun akan sia-sia belaka.
Kontroversial seputar ujian nasional (UN) mengerucut karena hasil ujian nasional ini akhirnya menjadi penentu lulus dan tidaknya seorang siswa, baik pada tingkat SD, SLTP, maupun SLTA. Seandainya lulus dan tidaknya siswa tidak hanya berdasarkan nilai hasil ujian nasional, namun juga nilai harian dan nilai ujian umum, maka kontroversi tidak akan setajam sekarang ini.
Kontroversial seputar ujian nasional (UN) mengerucut karena hasil ujian nasional ini akhirnya menjadi penentu lulus dan tidaknya seorang siswa, baik pada tingkat SD, SLTP, maupun SLTA. Seandainya lulus dan tidaknya siswa tidak hanya berdasarkan nilai hasil ujian nasional, namun juga nilai harian dan nilai ujian umum, maka kontroversi tidak akan setajam sekarang ini.
Sebab hanya dengan mengandalkan nilai ujian nasional dan mengabaikan nilai-nilai harian dan prestasi belajar lainnya, akan mengesankan bahwa waktu uang tiga tahun hanya akan selesai dengan dua hari saja. Artinya, mereka merasa sia-sia telah belajar selama tiga tahun. Bagaimana jadinya jika seorang siswa yang sejak kelas I hingga kelas II pada setiap semesternya mendapat rangking, kemudian setelah mengikuti ujian nasional ada satu saja mata pelajaran yang tidak memenuhi standard nilai UN, kemudian dia dinyatakan tidak lulus? Bagaimana dengan siswa yang selalu mendapat nilai rendah setiap semesternya, namun pada ujian nasional dia bisa memenuhi standard nilai UN?
Tentunya, bukan hanya siswa dan orang tuanya yang kecewa, namun guru-gurunya pun akan sesak dada. Sebab mereka akan mendapati siswa yang setiap saat mendapat rangking di kelas namun akhirnya tidak 'lulus'. La ode Ida, Wakil Ketua DPD berpendapat bahwa kebijakan ini telah mengabaikan proses selama tida tahun belajar. Sehingga para siswa yang telah mempelajari sejumlah materi pelajaran di bawah bimbingan guru sebagai pendidik langsung yang bertanggung-jawab. "Di sinilah luar-biasanya kebijakan itu. Yakni waktu belajar tiga tahun hanya diganti dengan system penilaian berdasarkan proses belajar satu atau dua malam saja. Anehnya, yang diuji hanya tiga mata pelajaran yang berarti secara langsung pula tidak memberi apa-apa terhadap mata pelajaran lain. Tepatnya pengorbanan guru dan siswa selama tiga tahun sama sekali tidak dihargai oleh kebijakan pemerintah yang konyol ini," katanya.
Guru Penentu Kelulusan
La Ode Inda merujuk, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, guru atau pendidiklah yang berhak melakukan evaluasi belajar tahap akhir siswa. "Ini artinya, guru dan sekolah secara bersama-sama memiliki otonomi untuk menentukan kelulusan para siswanya. Karena memang merekalah yang sehari-hari berinteraksi dan mengetahui persis kondisi murid-muridnya," ungkapnya.
Senada dengan itu, pengamat pendidikan Prof. Dr. Arief Rahman mengusulkan agar kelulusan dikembalikan pada kepala sekolah dan dewan guru. Sebab, katanya merekalah yang paham betul bagaimana siswa tersebut belajar selama tiga tahun di sekolah masin-masing.
Untuk itu, seperti dikutip Kompas, 22Juni, Arief Rachman mengusulkan agar siswa yang nilai UN-nya masih dalam ambang batas toleransi tetap diluluskan tanpa perlu mengikuti ujian ulangan. Sebagai praktisi pendidikan yang sudah berpengalaman puluhan tahun, Arief Rachman percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan adak didik bukan hanya ditentukan dengan ujian yang hanya dua jam. Namun, perlu juga mempertimbangkan keberhasilan proses belajar dari kelad I, II dan III. Dan itu, hanya dewan guru dan kepala sekolah yang tahu masing-masing prestasi siswanya. (Sumber Majalah Berita Indonesia, – 17/ 2006)
Tentunya, bukan hanya siswa dan orang tuanya yang kecewa, namun guru-gurunya pun akan sesak dada. Sebab mereka akan mendapati siswa yang setiap saat mendapat rangking di kelas namun akhirnya tidak 'lulus'. La ode Ida, Wakil Ketua DPD berpendapat bahwa kebijakan ini telah mengabaikan proses selama tida tahun belajar. Sehingga para siswa yang telah mempelajari sejumlah materi pelajaran di bawah bimbingan guru sebagai pendidik langsung yang bertanggung-jawab. "Di sinilah luar-biasanya kebijakan itu. Yakni waktu belajar tiga tahun hanya diganti dengan system penilaian berdasarkan proses belajar satu atau dua malam saja. Anehnya, yang diuji hanya tiga mata pelajaran yang berarti secara langsung pula tidak memberi apa-apa terhadap mata pelajaran lain. Tepatnya pengorbanan guru dan siswa selama tiga tahun sama sekali tidak dihargai oleh kebijakan pemerintah yang konyol ini," katanya.
Guru Penentu Kelulusan
La Ode Inda merujuk, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, guru atau pendidiklah yang berhak melakukan evaluasi belajar tahap akhir siswa. "Ini artinya, guru dan sekolah secara bersama-sama memiliki otonomi untuk menentukan kelulusan para siswanya. Karena memang merekalah yang sehari-hari berinteraksi dan mengetahui persis kondisi murid-muridnya," ungkapnya.
Senada dengan itu, pengamat pendidikan Prof. Dr. Arief Rahman mengusulkan agar kelulusan dikembalikan pada kepala sekolah dan dewan guru. Sebab, katanya merekalah yang paham betul bagaimana siswa tersebut belajar selama tiga tahun di sekolah masin-masing.
Untuk itu, seperti dikutip Kompas, 22Juni, Arief Rachman mengusulkan agar siswa yang nilai UN-nya masih dalam ambang batas toleransi tetap diluluskan tanpa perlu mengikuti ujian ulangan. Sebagai praktisi pendidikan yang sudah berpengalaman puluhan tahun, Arief Rachman percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan adak didik bukan hanya ditentukan dengan ujian yang hanya dua jam. Namun, perlu juga mempertimbangkan keberhasilan proses belajar dari kelad I, II dan III. Dan itu, hanya dewan guru dan kepala sekolah yang tahu masing-masing prestasi siswanya. (Sumber Majalah Berita Indonesia, – 17/ 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home