Dibutuhkan Guru Pejuang
Lagi, angin surga berembus ke dunia pendidikan kita. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menjanjikan dalam kurun tiga tahun, 210 ribu guru honorer akan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Dengan cara itu, Depdiknas berharap mutu pendidikan di Indonesia semakin baik.
Kabar tersebut tentu layak disambut gembira. Sebab, kita semua tentu sepakat bahwa pendidikan memegang peran penting dalam kehidupan bangsa. Maju tidaknya pendidikan sangat mempengaruhi kemajuan bangsa ini.
Hanya, sebelum kebijakan itu benar-benar dilaksanakan, kita ingin mengingatkan agar pemerintah juga memperhatikan aspek-aspek lainnya. Artinya, bersamaan dengan pengangaktan itu, pemerintah juga harus serius melihat motivasi para guru honorer tersebut. Apakah di dalam diri mereka terdapat nilai kejuangan?
Ini mungkin terasa aneh. Mengukurnya juga tidak mudah. Namun, kita perlu mengingatkan karena di antara mereka yang saat ini jadi guru – baik yang sudah PNS maupun yang masih honorer – ada kecenderungan sekadar bekerja. Tidak ada nilai juang untuk mengantar generasi muda Indonesia siap menghadapi tantangan masa depan.
Mengajar atau mendidik anak mutlak perlu disertai motivasi kejuangan. Sebab, mendidik itu pada hakikatnya mengembangkan sebuah karakter atau kepribadian seorang manusia. Sentuhan yang bersifat kasih saying (emosional) sangat dibutuhkan. Ada kedekatan secara batin antara pendidik dan peserta didik.
Lain jika mendidik hanya dipandang sebagai pekerjaan atau lumbung mencari penghidupan. Hubungan guru dan murid menjadi sangat kering, kaku, dan formal. Guru tidak mau menyelami karakteristik anak didiknya. Guru hanya mau memberikan ilmunya sesuai dengan agro (baca: bayaran yang cocok).
Harus diakui, fenomena semacam itu kini cukup menggejala di dunia pendidikan kita. Guru banyak yang sibuk memperbaiki – secara material – kualitas hidupnya. Akibatnya, kegiatan yang berbau eksploitasi pendidikan demi keuntungan materi pun kerap terdengar.
Guru juga manusia ! Itu benar. Artinya, dalam batas-batas tertentu, seorang guru tidak "diharamkan" mencari materi. Namun, guru jangan sampai menjadi materialistis. Jika karakter materialistis lebih menonjol daripada karakter pejuang, sebaiknya apa pun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru tidak akan menyelesaikan masalah. Guru tetap akan lebih sibuk mencari keuntungan materi dari pada mengembangkan anak didiknya.
Moralitas bangsa ini sudah sedemikian terpuruk. Seakan sudah sedemikian sulit ditemukan orang baik, orang jujur, dan orang yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya, orang jahat, orang curang, serta orang yang tahunya hanya berpikir tentang kepentingannya sendiri sangat mudah ditemuka. Kata mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi'I Ma'arif, penjahat dan penjabat sudah sangat sulit dibedakan.
Dalam situasi yang seperti itu, peran guru sangat dibutuhkan. Guru harus terpanggil untuk bisa menyiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Yakni, generasi yang punya kepedulian terhadap sesame, menjunjung tinggi kejujuran, dan memilki semangat pengorbanan.
Mencetak generasi seperti itu tentu tidak mudah. Tidak cukup hanya mengantar mereka hingga lulus unas (ujian nasional). Tapi harus bisa mengantar anak didik menjadi "manusia". Yakni, sebagai mahluk hidup, social, dan religius. Dan itu semua membutuhkan keteladanan seorang guru !
Kabar tersebut tentu layak disambut gembira. Sebab, kita semua tentu sepakat bahwa pendidikan memegang peran penting dalam kehidupan bangsa. Maju tidaknya pendidikan sangat mempengaruhi kemajuan bangsa ini.
Hanya, sebelum kebijakan itu benar-benar dilaksanakan, kita ingin mengingatkan agar pemerintah juga memperhatikan aspek-aspek lainnya. Artinya, bersamaan dengan pengangaktan itu, pemerintah juga harus serius melihat motivasi para guru honorer tersebut. Apakah di dalam diri mereka terdapat nilai kejuangan?
Ini mungkin terasa aneh. Mengukurnya juga tidak mudah. Namun, kita perlu mengingatkan karena di antara mereka yang saat ini jadi guru – baik yang sudah PNS maupun yang masih honorer – ada kecenderungan sekadar bekerja. Tidak ada nilai juang untuk mengantar generasi muda Indonesia siap menghadapi tantangan masa depan.
Mengajar atau mendidik anak mutlak perlu disertai motivasi kejuangan. Sebab, mendidik itu pada hakikatnya mengembangkan sebuah karakter atau kepribadian seorang manusia. Sentuhan yang bersifat kasih saying (emosional) sangat dibutuhkan. Ada kedekatan secara batin antara pendidik dan peserta didik.
Lain jika mendidik hanya dipandang sebagai pekerjaan atau lumbung mencari penghidupan. Hubungan guru dan murid menjadi sangat kering, kaku, dan formal. Guru tidak mau menyelami karakteristik anak didiknya. Guru hanya mau memberikan ilmunya sesuai dengan agro (baca: bayaran yang cocok).
Harus diakui, fenomena semacam itu kini cukup menggejala di dunia pendidikan kita. Guru banyak yang sibuk memperbaiki – secara material – kualitas hidupnya. Akibatnya, kegiatan yang berbau eksploitasi pendidikan demi keuntungan materi pun kerap terdengar.
Guru juga manusia ! Itu benar. Artinya, dalam batas-batas tertentu, seorang guru tidak "diharamkan" mencari materi. Namun, guru jangan sampai menjadi materialistis. Jika karakter materialistis lebih menonjol daripada karakter pejuang, sebaiknya apa pun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru tidak akan menyelesaikan masalah. Guru tetap akan lebih sibuk mencari keuntungan materi dari pada mengembangkan anak didiknya.
Moralitas bangsa ini sudah sedemikian terpuruk. Seakan sudah sedemikian sulit ditemukan orang baik, orang jujur, dan orang yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya, orang jahat, orang curang, serta orang yang tahunya hanya berpikir tentang kepentingannya sendiri sangat mudah ditemuka. Kata mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi'I Ma'arif, penjahat dan penjabat sudah sangat sulit dibedakan.
Dalam situasi yang seperti itu, peran guru sangat dibutuhkan. Guru harus terpanggil untuk bisa menyiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Yakni, generasi yang punya kepedulian terhadap sesame, menjunjung tinggi kejujuran, dan memilki semangat pengorbanan.
Mencetak generasi seperti itu tentu tidak mudah. Tidak cukup hanya mengantar mereka hingga lulus unas (ujian nasional). Tapi harus bisa mengantar anak didik menjadi "manusia". Yakni, sebagai mahluk hidup, social, dan religius. Dan itu semua membutuhkan keteladanan seorang guru !
0 Comments:
Post a Comment
<< Home