Friday, August 11, 2006

Wapres: Dulu Terjadi Pembodohan

Kendati angka kelulusan dalam Ujian Nasional masih menjadi kontroversi, Wakil Presiden Jusuf Kalla tetap ingin menaikkan angka kelulusan pada pada UN mendatang. Menurut dia, angka itu harus tetap dikerek naik untuk memupus pembodohan nasional yang terjadi selama ini.

Di masa lalu, kata Wapres, pembodohan nasional itu terjadi dalam penentuan kelulusan dan kenaikan kelas. Menurut dia, ada sebua "desain resmi" untuk menjadikan siswa sekolah luar di luar Jawa lebih bodoh dari siswa di Jawa, tapi dibuat seolah-olah sama pintar.

Wapres mencontohkan, di masa lalu jika angka kelulusan di DKI Jakarta dipatok enam, maka angka kelulusan di luar Jawa didongkrak naik. Kelulusan di luar Jawa, kata dia sebenarnya empat. Tapi secara sengaja didongkrak dua poin sehingga seolah sama-sama enam.

"Artinya terdesaiin secara resmi bahwa Anda di daerah harus lebih bodoh, dan boleh lebih bodoh dari pada di DKI. Di sini terjadi pembodohan-pembodohan," kata Wapres pada acara Rakornas Revitalisasi Pendidikan di Jakarta, kemarin (8/8).

Wapres masih melanjutkan gugatannya : "Dulu ada perasaan di Jawa semua pintar. Tapi kan di Jawa tak semua tinggal di Cikini dan tak semua sekolahnya baik. Kenapa mesti dibedakan dengan di Ambon dan NTT?"

Dampak dari desain itu, kata Wapres, muncul kesulitan-kesulitan bagi siswa-siswi dari luar Jawa untuk masuk perguruan tinggi favorit seperti Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Perguruan tinggi favorit itu kemudian lebih banyak dinikmati siswa-siswi di Jawa.

Kata Wapres, gejala itu terjadi hingga di Akademi Militer dan Akademi Kepolisian. "Sekarang ini sulit mencari jenderal dari Timur, seperti Ambon, Papua," ujarnya. Padahal, kata dia, pembedaan-pembedaan itu tak kontributif bagi keutuhan Negara Kesatuan RI.

Karena itulah, Wapress mengatakan pemerintah sekarang mengambil sikap tegas dalam pelaksanaan UN sebagai cambuk meningkatkan kualitas SDM. "Kenapa (digelar) Ujian Nasional? Krena pemerintah harus punya standar nasional. Negara harus punya standar," tandasnya.

Dulu, tutur Wapres, semua murid diluluskan dan dinaikkan kelas. Akibatnya, murid malas belajar. "Hentikan itu semua. Kita harus tegas dalam pendidikan. Yang lulus, yaa lulus. Yang nggak lulus yaa nggak lulus. Kalau tidak kita akan kalah terus," ujarnya.

Dibanding angka kelulusan di Indonesia yang saat ini baru 4,5 Wapres mengatakan Indonesia ketinggalan disbanding Negara tetangga terdekat sekalipun. Malaysia kata dia, mematok angka enam. Sedangkan Singapura, berani mematok angka delapan.

"Seperti orang lompat tinggi, kita selama sekian puluh tahun menurunkan galah kalau ada yang tak bisa lompat. Di Singapura, galahnya yang dinaikkan terus pelan-pelan," kata Wapres sambil memperagakan tangannya naik turun.

Angka kelulusan 4,5, kata Wapress, tak akan diturunkan lagi. Dia berharap dalam waktu dekat angka tiu menjadi lima. "Tahun depan (angka kelulusan SMA menjadi) lima," tandasnya.

Wapres mengaku tak peduli bila kenaikan itu akan membuat banyak siswa kembali tak lulus pada UN mendatang. Dia bahkan mengaku senang melihat siswa yang menangis, merenung, atau stress karena tidak lulus disbanding melihat anak-anak yang mencorat-coret pakaian karena diluluskan secara mudah.

Tangisan, renungan, atau stress sisya yang tak lulus, kata Wapres, merupakan pertanda baik. "Itu cahaya masa depan bahwa dia akan belajar," ujarnya. (Sumber Harian Republika – Rabu, 9 Agustus 2006).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Bisnis di Internet