Hampir Separo Guru Tak Layak Mengajar
Masalah utama yang membelit pendidikan nasional, ternyata, kualitas guru. Hal ini terungkap dalam Lokakarya Nasional soal Rencana Penyusunan Penilaian Paruh Dekade Pendidikan untuk Semua di Indonesi di Jakarta Kemarin (31/07/2006). Lokakarya ini diadakan Depdiknas dan Education for ALL (EFA), lembaga bentukan UNESCO.
"Lebih dari 40 persen guru yang ada sekarang masuk kategori kurang layak mengajar", ujar Ace Suryadi, Dierjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, ketika menjadi pembicara. Pembicara lain lokakarya itu adalah Alisher Umaro, UNESCO Jakarta Offiace, serta John Kapp dari UNESCO Bangkok.
Ace lantas merinci bahwa jumlah guru SD yang kurang layak mengajar sekitar 49,3 persen. Sementara itu, 36 persen guru SMP masuk kategori kurang kompeten. Sebanyak 33 persen guru SMA harus meningkatkan kemampuannya dan 43 persen guru SMK belum layak mengajar.
Ace mengungkapkan, kualifikasi guru berpendidikan S1 atau D IV saat ini baru mencapai 30 persen. "Ini masalah yang harus segera dicarikan pemecahan," tuturnya. Belum lagi masalah mengenai banyaknya gedung sekolah yang mendesak direnovasi atau telah rusak parah.
Mesi begitu, Alisher Umaro menilai, proses pendidikan di Indonesi telah berada pada jalur yang benar. "Masalah yang ada memang tidak bisa diselesaikan dalam 1-2 hari, namun tahunan. Tapi, Indonesia telah cukup berhasil dalam proses. Ada beberapa program yang lebih cepat selesai," katanya.
Dia mencontohkan Gerakan Nasional Percepatan Pemberantasan Buta Aksara. "Dari laporan, Indonesia menargetkan penurunan penduduk buta aksara dari 9,55 persen (sekitar 14, 6 juta orang) menjadi kurang dari 5 persen pada 2009. Padahal, target penurunan sebesar itu kami tetapkan 2015," urainya.
Di bagian lain, John Kapp menyatakan, assessment (penilaian) yang dilakukan UNESCO bukan bertujuan me-rangking suatu Negara dengan Negara lain. "Kami hanya memetakan permasalah yang ada dalam pendidikan Indonesi. Lalu, masalah itu masuk EF Mid-Term Policy Review, yang akan kami laporkan ke PBB," paparnya.
Setelah semua peta masalah diketahui, baru PBB memberikan bantuan. "Misalnya, kalau kualitas guru menjadi permasalahan, tentu bantuan yang kami berikan akan difokuskan pada upaya peningkatan kualitas guru," tuturnya.
Pendidikan untuk semua atau EFA merupakan komitmen internasional dalam pengembangan pendidikan dan pengembangan SDM yang ditanda-tangani di Dakar, Senegal, pada 2000. Ada enam target pencapaian pendidikan yang disebut Kerangka Aksi Dakar. Yaitu, pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan keaksaraan, pendidikan kecakapan hidup, keadilan gender, dan mutu pendidikan.
Sembilan Negara berpenduduk besar menerima bantuan dari EFA, yakni, Indonesia, India, Tiongkok, Bangladesh, Brazil, Mesir, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan. (Sumber Indopos – Senin, 1 Agustus 2006)
"Lebih dari 40 persen guru yang ada sekarang masuk kategori kurang layak mengajar", ujar Ace Suryadi, Dierjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, ketika menjadi pembicara. Pembicara lain lokakarya itu adalah Alisher Umaro, UNESCO Jakarta Offiace, serta John Kapp dari UNESCO Bangkok.
Ace lantas merinci bahwa jumlah guru SD yang kurang layak mengajar sekitar 49,3 persen. Sementara itu, 36 persen guru SMP masuk kategori kurang kompeten. Sebanyak 33 persen guru SMA harus meningkatkan kemampuannya dan 43 persen guru SMK belum layak mengajar.
Ace mengungkapkan, kualifikasi guru berpendidikan S1 atau D IV saat ini baru mencapai 30 persen. "Ini masalah yang harus segera dicarikan pemecahan," tuturnya. Belum lagi masalah mengenai banyaknya gedung sekolah yang mendesak direnovasi atau telah rusak parah.
Mesi begitu, Alisher Umaro menilai, proses pendidikan di Indonesi telah berada pada jalur yang benar. "Masalah yang ada memang tidak bisa diselesaikan dalam 1-2 hari, namun tahunan. Tapi, Indonesia telah cukup berhasil dalam proses. Ada beberapa program yang lebih cepat selesai," katanya.
Dia mencontohkan Gerakan Nasional Percepatan Pemberantasan Buta Aksara. "Dari laporan, Indonesia menargetkan penurunan penduduk buta aksara dari 9,55 persen (sekitar 14, 6 juta orang) menjadi kurang dari 5 persen pada 2009. Padahal, target penurunan sebesar itu kami tetapkan 2015," urainya.
Di bagian lain, John Kapp menyatakan, assessment (penilaian) yang dilakukan UNESCO bukan bertujuan me-rangking suatu Negara dengan Negara lain. "Kami hanya memetakan permasalah yang ada dalam pendidikan Indonesi. Lalu, masalah itu masuk EF Mid-Term Policy Review, yang akan kami laporkan ke PBB," paparnya.
Setelah semua peta masalah diketahui, baru PBB memberikan bantuan. "Misalnya, kalau kualitas guru menjadi permasalahan, tentu bantuan yang kami berikan akan difokuskan pada upaya peningkatan kualitas guru," tuturnya.
Pendidikan untuk semua atau EFA merupakan komitmen internasional dalam pengembangan pendidikan dan pengembangan SDM yang ditanda-tangani di Dakar, Senegal, pada 2000. Ada enam target pencapaian pendidikan yang disebut Kerangka Aksi Dakar. Yaitu, pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan keaksaraan, pendidikan kecakapan hidup, keadilan gender, dan mutu pendidikan.
Sembilan Negara berpenduduk besar menerima bantuan dari EFA, yakni, Indonesia, India, Tiongkok, Bangladesh, Brazil, Mesir, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan. (Sumber Indopos – Senin, 1 Agustus 2006)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home