Sunday, June 03, 2007

Tirta Sangga Jaya (TSJ)

Di tengah krisis karya monu­mental bangsa di era modern ini, tak ada salahnya me­nengok ke belakang, mere­nung sejenak, bahwa nenek moyang kita telah mengerjakan dan mewariskan karya monumental, seperti Candi Boro­budur, yang diakui sebagai salah satu keajaiban dunia.

Dalam wujud lain, Raja Purnawar­man, penguasa Kerajaan Tarumanegara, pada abad kelima Masehi sudah me­nerapkan manajemen air dan pengen­dalian banjir yang terencana dan ber­jangka sangat jauh ke depan. Menurut catatan sejarah, Raja Purnawarman, dengan peralatan yang sangat sederhana, mampu membangun kanal, kemudian menjadi sungai, sepanjang 11 kilometer hanya dalam tempo 21 hari. Artinya, setiap satu hari diselesaikan 550 meter kanal. Kanal itu kemudian diberi nama Sungai Candra Bagasasi. Peninggalan sejarah itu, sekarang bernama Kali Cakung, membelah kawasan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.

Jadi, dilihat dari perspektif sejarah, Tirta Sangga Jaya (TSJ) boleh dibilang bukanlah sesuatu yang terlalu besar, karena nenek moyang kita sudah mengerjakannya 1507 tahun lalu dengan peralatan yang sangat sederhana. TSJ atau sabuk kanal penyangga Ibukota Negara Jakarta, merupakan gagasan tentang tata kelola air secara holistik, yaitu meng­amankan pasokan air baku dan mengendalikan arus air liar dari empat sungai besar Cisadane di barat, Ciliwung di tengah, Bekasi, dan Citarum di timur yang setiap tahun mengancam Jakarta dengan amukan banjir kiriman.

Lewat konsep tersebut, 13 sungai sebelum masuk ke Jakarta, dipotong oleh TSJ yang berbentuk huruf U. Pusat kendali waduk reservoir bisa dibangun di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Air kiriman sungai-sungai Ciliwung, Cisadane, Bekasi dan Citarum, ditampung di waduk Cibinong dan waduk-waduk persimpangan antara sungai-sungai tersebut dan kanal TSJ. Air kanal dan waduk-waduk itu dimanfaatkan juga untuk memasok kebutuhan air baku yang bermutu bagi warga Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Juga untuk keperluan industri perhotelan, apartemen dan perkantoran, sekaligus mencegah eksploitasi air tanah secara besar-besaran.

TSJ dengan kanal selebar 100 meter dan sepanjang lebih kurang 200 kilometer, membentang membentuk huruf U dari Cibinong ke Muara Mauk, Tangerang di sebelah barat, dan dari Cibinong menuju Muara Jaya, di sebelah timur. Gagasan ini lahir dari "Mimpi untuk Jakarta" Syaykh AS Panji Gumilang, pucuk pimpinan Lembaga Pendidikan Al-Zaytun. TSJ juga bisa berfungsi sebagai jaringan irigasi, pembangkit listrik tenaga air, pariwisata, dan prasarana angkutan sungai, baik angkutan penumpang maupun barang.
Yang jadi pertanyaan, bisakab mimpi atau gagasan itu terwujud sebagai kenyataan? Sebab, pembangunan proyek TSJ yang monumental dan spektakuler, membutuhkan biaya yang sangat mahal, menurut perkiraan Syaykh sekitar Rp 900 triliun. Namun menurut Syaykh, dana sebesar itu bisa diperoleh secara bertahap apabila dipikul bersama oleh masyarakat Indonesia yang berkemampuan secara ekonomi. Artinya, pemerintah bisa menjual Surat utang negara (SUN) atau obligasi berjangka tidak terlalu lama kepada publik.

Soalnya, TSJ diharapkan bisa mem­berikan return (penghasilan) begitu pembangunannya selesai dalam tempo 8 tahun (tahun 2015). Penghasilan TSJ diperoleh dari pasokan air baku bermutu pada perusahaan-perusahaan daerah air minum, perhotelan, perkantoran dan apartemen. Juga dari PLTA, angkutan air, angkutan jalan tol dan pariwisata.
Raja Purnawarman saja bisa membuat sungai dengan peralatan sangat seder­hana. Tentu di era kemajuan ini, putera­putera terbaik bangsa, dengan teknologi dan peralatan modern, akan mampu membuat waduk, res­ervoir, jalan tol dan jembatan.

Persoalannya apakah pemerintah punya political will (kemauan politik) untuk mengatasi persoalan-persoalan fun­damental yang dihadapi Ibukota Negara (Jakarta) secara holistik dan berjangka. panjang. Bukan semata-mata pengen­dalian banjir, tetapi juga penyediaan pasokan air baku bermutu penghentian ekspolitasi air tanah, penataan kembali tata ruang dan pemeliharaan keseimbangan lingkungan Jakarta.

Jika masalah Jakarta ditangani secara parsial, misalnya membangun terowongan air bawah tanah (deep tunnel), situ, resapan air dan sumur injeksi air, maka tak akan menyelesai­kan masalah secara menyeluruh. Jakarta takkan pernah memiliki pasokan air baku yang bermutu. Air baku kali-kali Jakarta dijejali pencemaran yang sangat serius. Sebab air baku Kali Ciliwung dan kali-kali lainnya, pada musim hujan penuh Lumpur, dan hitam pekat pada musim kemarau.

Kalau hanya berkutat di dalam, maka krisis air di Ibukota Negara Jakarta, takkan pernah selesai. Sebaliknya, air sungai­sungai itu akan semakin kotor dan tercemar. Padahal manusia sangat membutuhkan sekitar 70% pasokan air bersih untuk kehidupannya sehari-hari.

Jika kebutuhan air Jakarta tidak ditangani secara terencana dan terarah mulai sekarang, maka dalam tempo tiga atau empat tahun ke depan, Ibukota Negara ini, akan mengalami krisis air bersih yang sangat serius. Sebab sekarang saja, intrusi air laut sudah sampan ke kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, dan Tomang, Jakarta Barat. Lambat lawn, warga Jakarta yang bermukim di kawasan barat, pusat, timur dan selatan, akan menghadapi kesulitan air seperti yang sudah lama dialami oleh saudara-saudara mereka di kawasan utara.

Kapan lagi Jakarta memiliki sungai-sungai yang mengalir­kan air yang jernih dan sehat, seperti kota-kota besar dunia lainnva? Bagaimanakah nasib Program Kali Bersih (Prokasih) Jakarta? Kapankah Jakarta akan bebas dari banjir kiriman?

Semua pertanyaan tersebut hanya akan terjawab dengan membangun TSJ. Bukan mengutak-atik Banjir Kanal Barat atau Banjir Kanal Timur. Persoalan pasokan dan pengendali­an air di Jakarta, tidak bisa ditangani dari bagian tengah atau hilir. Sebab sumbernya ada di hulu. Karena itu, TSJ akan melindungi Jakarta dari punggung dan lengan, sesuatu yang sangat ideal, meskipun harganya mahal.

Krisis air Jakarta hanya bisa diatasi dengan perencanaan dan manajemen air yang menyeluruh dan berjangka jauh ke depan. Kuncinya. mari kita mulai berpikir untuk mewujudkan "Mimpi untuk- Jakarta" melalui proyek monumental Tirta Sangga Jaya.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007)
Berita Selengkapnya !

Jakarta butuh dari solusi banjir

Banjir tahunan yang melanda lbukota Negara Jakarta seolah momok yang tak pernah mau berialu. Karena itu, sangat mengejutkan sekali manakala tersiar gagasan Tirta Sangga Jaya, yang semula lahir dari "Mimpi Syaykh AI-Zaytun AS Panji Gumilang untuk Jakarta." Gagasan ini bisa jadi solusi total atas krisis air clan banjir Jakarta.

Ide Tirta Sangga Jaya (TSJ) menurut Syaykh AS Panji Gumilang diilhami oleh pembangunan bendungan Aswan di Mesir. Sebelum dam dibangun, setiap kali musim hujan tiba, kota Kairo selain selalu dibanjiri air bah juga membawa Berta buaya-buaya Sungai Nil yang menerkam dan membunuh warga kota. TSJ juga terinspirasi oleh pengalam­an praktis Al-Zaytun dalam menerapkan manajemen teknologi panen air yang menjamin takkan terjadi lagi banjir di musim hujan, sekaligus takkan ada ke­kurangan air di musim kemarau.

Filosofi panen air Al-Zaytun dikaji dan diterapkan dari sudut pandang dalam perspektif 50 tahun ke depan. Al-Zaytun bukan bicara persoalan hari ini saja, seperti sering dilakukan oleh para pe­mangku jabatan yang daerahnya sering dilanda banjir misalnya Jakarta. Syaykh menggambarkan, "Kalau saja para pe­mangku pimpinan Al-Zavtun cara ber­pikirnya seperti orang Jakarta, baik itu pemerintahnya, maupun sipilnya, maka akan tenggelam 50 tahun lagi."

Waduk Windu Kencana yang akan menjadi simbol persembahan kepada bangsa, menandai delapan tahun ke­hadiran Al-Zaytun di jagat nasional, merupakan bukti konkrit dan miniatur mimpi bahwa Tirta Sangga Jaya bisa diwujudkan. Sebab Windu Kencana ha­nyalah cikal bakal dari rencana besar pembangunan Tirtaraksa Candrakirana Bangsa, yang akan memastikan Al-Zaytun terbebas dari gangguan banjir hingga 50 tahun ke depan. Jakarta agaknya perlu belajar mengatasi banjir ke Al-Zaytun. Pengaturan-pengaturan air secara tepat guna perlu dipikirkan lebih seksama, begitu juga infrastruktur pendukung lainnya masih banyak yang perlu di­benahi. Di lingkungan Al-Zaytun, air dikelola dan dimanfaatkan sangat efisien dan terencana.

Wakil Bupati Purwakarta, Dedy Mulyadi SH, melihat apa yang dilaksanakan oleh Al-Zaytun merupakan hasil teknologi yang perlu ditiru atau diterapkan di daerah-daerah lain. Jika masalah rutin Jakarta adalah pengendalian banjir tahunan yang sering menjadi isu nasional, Dedy pun sangat mendukung gagasan holistik Syaykh Dr. AS Panji Gumilang tentang perlunya pembangunan kanal Tirta Sangga Jaya. "Konsep ini sangat realistik, brilian dan layak ditindaklanjuti dengan riset," kata Dedy.

Jika kanal TSJ dan kanal Jakarta­ Cirebon diaplikasikan secara terpadu, tambah Dedi, maka sebagian besar banjir di Pantura Jawa akan dapat diatasi. Konsep ini, kata Dedy, dapat mengangkat harkat penduduk Jawa yang kian tidak seimbang antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.

Solusi Komprehensif

Soal penanganan banjir Jakarta, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pe­milihan DKI Jakarta, mengusulkan solusi dengan menghadirkan satu pemahaman penyelesaian berbentuk kebijakan yang harus komprehensif. Masalah banjir Jakarta menurutnya adalah masalah besar, sebab melibatkan wilayah Jakarta dan luar Jakarta.

Hal kedua, perlu dihadirkan komitmen yang kuat dari seluruh pihak untuk menjadi bagian dari solusi. Selain pe­merintah sebagai pihak yang paling berkewajiban, perlu dilibatkan masya­rakat secara lugs, seperti mereka yang tergabung dalam partai politik, Ormas, LSM, kelompok-kelompok warga clan pemuda. Ini, kata Hidayat, akan meng­hadirkan kesadaran bahwa sesungguhnya masing-masing anggota masyarakat bisa menjadi bagian dari solusi sangat penting.

Hidayat mencontohkan, semua orang sudah tahu bahwa sesungguhnya kawasan bantaran sungai tidak boleh dihuni, ya mestinya jangan ada yang tinggal di sang. Selain karena bukan haknya, itu menjadi bagian yang bisa memicu terjadinya banjir. Atau, semua orang tahu bahwa salah satu penyebab banjir adalah kalau terjadi pendangkalan sungai akibat pem­buangan sampah, maka jangan ada lagi yang buang sampah. "Artinya, pemerintah juga harus menyediakan tempat-tempat sampah yang memadai," kata Hidayat kepada Berita Indonesia.

Hidayat berharap para calon gubernur DKI Jakarta yang akan bertarung dalam Pilkada, menghadirkan solusi total banjir Jakarta, bukan sekadar jualan politik menjelang pemilihan. Tetapi menjadi sesuatu yang diingat dan ditagih oleh rakyat, bahwa gubernur terpilih pernah punya janji membebaskan Jakarta dari banjir.

Marwan Batubara, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Provinsi DKI Jakarta, melihat persoalan banjir Jakarta dari sudut pandang yang lebih jauh. Menurutnya, selain menyelesaikan masalah banjir, Jakarta juga butuh solusi pengamanan pasokan air di musim kemarau. Dia mencermati bah­wa isu masa depan dalam hubungan antar negara adalah isu air. Marwan menunjuk Singapura. Negeri kecil ini sangat tergantung pada pasokan air dari Malaysia.

Sebagai wakil Jakarta, Marwan sangat peduli memberikan kontribusi bagi pe­nyelesaian berbagai persoalan Ibukota Negara. Soal banjir, misalnya, pada 8 Mei lalu dia menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum mengenai "Telaah Kritis Atas Penyebab dan Solusi Banjir Jakarta".

Slamet Effendi Yusuf mengungkapkan harapannya terhadap TSJ sebagai per­wujudan dari prinsip air sebagai sumber kehidupan, bukan sebagai sumber ben­cana. Menyangkut pembiayaan proyek TSJ, Slamet Effendi Yusuf setuju dengan konsep Syaykh yang bersumber dari obligasi, namun tidak menutup pem­biayaan dari sumber lain.

Peserta rapat sepakat untuk menang­gulangi banjir di Jakarta, diperlukan lebih dari sekadar pembangunan Banjir Kanal Timur atau Deep Tunnel. Tetapi yang sangat diperlukan adalah langkah pe­nanganan yang komprehensif, termasuk meluruskan kembali tata kota yang se-lama ini menyimpang. Langkah ini perlu segera dilaksanakan sebab banjir, me­nurut mereka, masih akan menghantui Jakarta di waktu-waktu mendatang, seiring dengan perubahan iklim dunia akibat pemanasan global.

Solusi yang disampaikan para pakar itu memang masih jauh dari ide besar TSJ yang digagas Syaykh. Nurfakih selaku wakil Pemda misalnya, mengatakan, banjir yang melanda Jakarta Februari 2007, akibat dari kondisi sungai yang sudah tidak memadai untuk menampung debit air yang masuk. Air kemudian meluap dari sungai dan menggenangi sebagian besar wilayah Jakarta.

Solusinya, kata Nurfakih, dengan pem­bangunan Banjir Kanal Timur dan revi­talisasi Banjir Kanal Barat. Dia yakin optimalisasi kedua kanal tersebut dapat menjinakkan limpahan air dari 13 sungai yang mengaliri Jakarta, yang selama ini menjadi penyebab terjadinya banjir. Deep Tunnel menurutnya juga akan sangat membantu upaya penanggulangan banji- Jakarta.

Marco Kusumawijaya mengingatkan ancaman banjir akan terus meningkat seiring dengan fenomena global warming yang melanda dunia saat ini. Fakta adanya global warming berdampak pada naiknya permukaan air laut sekitar 0,5 cm setiap tahun, diikuti menurunnya permukaan tanah Jakarta sekitar 0,83 cm, dan curah hujan yang naik rata-rata dua persen setiap tahun. Semua fakta turut mening­katkan potensi terjadinya banjir di Ja­karta.

Apabila Marco menyebutkan banjir Jakarta lebih merupakan akibat dari keterbatasan lahan terbuka, sehingga air hujan tidak dapat diserap ke dalam tanah. Pendapat senada juga dipaparkan oleh Yayat Supriatna. Menurut Yayat, baik di hilir maupun di hulu, ruang terbuka hijau (RTH) terns saja meng­alami penyusutan. Bahkan di Bogor, tar­get penyediaan RTH sudah direvisi dari sebelumnya 40 persen menjadi hanya 10 persen. Ruang terbuka hijau dialihkan menjadi kawasan komersil, seperti pem­bangunan vila-vila di kawasan Puncak, dengan tujuan sempit mendatangkan pendapatan asli daerah.

Irfan Maksum termasuk sependapat dengan Syaykh Panji Gumilang tentang perlunya dibentuk semacam badan otorita di tingkat nasional dengan kewenangan penuh untuk mengelola kawasan TSJ. Alasannya, persoalan banjir melintasi berbagai wilayah administrasi peme­rintahan, sehingga diperlukan badan khusus yang mengelolanya secara menye­luruh tanpa harus disekat oleh batas teritori pemerintahan.

Paulus Wirutomo menyatakan penting perubahan paradigma penyelesaian per­soalan banjir Jakarta, dengan meng­ajukan visi educating city, yang bermakna kota mencerdaskan warganya. Kata Paulus, diperlukan komitmen pemerintah untuk memberikan informasi dan pendi­dikan kepada publik tentang permasalah­an sesungguhnya dari banjir yang terjadi hampir setiap tahun. Tujuannya, ma­syarakat dapat melakukan penilaian secara tepat dan proporsional, sehingga dapat mengambil peran aktif dalam upanya penanggulangannya.

Menyalahkan Alam

Melatari idenya, Tirta Sangga Jaya, Syaykh menjelaskan, 73 tahun yang lalu pemerintah Hindia Belanda sudah ber­usaha menertibkan Jakarta. Kata Syaykh, yang namanya Banjir Kanal Barat, dikenal dengan Kalideres, tadinya sungai tersebut mengalir lambat, lalu setelah ditertibkan menjadi degas. Pads jaman itu, Belanda membaca Jakarta dengan mengadakan sodetan sungai sebelah barat.

Bahkan sebelumnya, tahun 1887, Be­landa sudah memikirkan harus ads penampungan air kiriman dari daerah sekitar Jakarta. Maka di ujung Bogor dibangun bendungan Katulampa. Asal mula nama Katulampa adalah nama sebuah kampung, identik dengan nama seekor binatang yang berjalan tanpa benti, bernyanyi Siang malam, dan terns mencari terobosan. Bendungan Katu­lampa dibuat tahun 1887, diresmikan tahun 1911, lalu disambung pembangunan BKB.

Setelah merdeka, bangsa Indonesia lengah menata air. Akhirnya semua daerah mengalami banjir bandang. Tetapi semua orang di Jakarta malah menyalah­kan alam. Banyak orang mengatakan banjir sebagai fenomena alam, siklus tahunan atau lima tahunan. Padahal, kata Syaykh, sebetulnya dari dulu alam tidak pernah butuh Jakarta, tidak pernah butuh Al-Zaytun, tidak pernah butuh Mekkah, sebab itulah alam.

"Kalau roda alam semesta bergerak tidak kenal yang namanya Mekkah, Madinah, Roma apalagi Jakarta. Se­mua bisa digilas oleh alam," kata Syaykh. Dia menyebut banjir yang melanda Jakarta Februari 2007, bukan fenomena alam, tetapi fenomena kebodohan bang­sa. "Dengarkan orang Jakarta, ini ke­bodohan bangsa. Kok menyalahkan alam, sebab alam tidak salah, dan tidak pernah butuh manusia, tetapi manusia­lah yang butuh alam, maka Anda harus dijaga," kata Syaykh, penggagas Tirta Sangga Jaya sebagai solusi holistik mengatasi banjir Jakarta.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
Berita Selengkapnya !

Bebas Banjir Impian Seumur Hidup

Pengalaman warga yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung tentang berbagai program pengendalian banjir yang tak kunjung jadi kenyataan, membuat mereka enggan membicarakan hal itu. Hidup tanpa banjir menjadi impian mereka seumur hidup. Gagasan pembangunan Tirta Sangga Jaya mungkin salah satu jalan keluar.

Warga masyarakat yang bermukim di bantaran Kali Ciliwung ternyata tidak begitu suka mendengar hal-hal yang berkaitan dengan pengendali­an banjir. Ada dua faktor yang memicu ketidaksukaan warga. Pertama, program pengen­dalian banjir dikhawatirkan akan menggusur tempat ting­gal mereka. Kedua, janji-janji pemerintah untuk membenahi bantaran Kali Ciliwung tidak pernah terwujud.

Warga kecewa terhadap Pe­merintah Provinsi DKI Ja­karta, karena pada satu sisi menakuti warga dengan ren­cana-rencana. penggusuran. Di sisi lain, mereka wring dijejali janji-janji kosong tentang pembenahan bantaran Kali Ciliwung. Menurut para warga bantaran kali, pemerintah DKI Jakarta sudah pernah me­rencanakan pembangunan tembok sepanjang Kali Cili­wung untuk menghindari pen­dangkalan. Juga direncanakan program penghijauan di sepanjang bantaran kali Cili­wung untuk menghindari penggerusan dinding sungai.

Pandangan skeptis warga diperlihatkan ketika berha­dapan dengan wartawan Be­rita Indonesia. Tidak meng­herankan, jika wartawan BI juga disambut sikap skeptis "Yang gitu-gitu sudah banyak lho mas! Biar saja tetap seperti ini," tukas seorang warga ke­tika wartawan BI menjelaskan maksudnya mencari rumah Ketua RT mereka.

Citra ini tentu menjadi fak­tor yang menyulitkan bagi BI ketika meminta pandangan masyarakat tentang penang­gulangan banjir dengan model Tirta. Sangga Jaya. Perlu waktu yang cukup lama untuk mem­peroleh pengertian dari warga.

Ternyata Ternyata, dari beberapa Ke­tua RT yang ditemui, diketahui bahwa sikap skeptis warga merupakan wujud dari ke­kecewaan mereka terhadap penanggulangan banjir, se­buah impian besar yang tidak pernah terwujud selama ini. Berbagai program pemerintah untuk melindungi warga dari serangan banjir, sudah ter­dengar puluhan tahun, namun hingga kini tidak jelas jun­trungannya.

Namun banjir bandang yang menimpa sebagian besar wila­yah Jakarta, Bogor, Depok. Tangerang, dan Bekasi (Jabo­detabek) awal Februari 2007 lalu. membuat harapan bebas ban­jir semakin membesar. Bebe­rapa warga yang sebelumnya dinyatakan enggan meninggal­kan wilayah bantaran kali, kini sudah berbalik arah, berharap dapat pindah tempat tinggal. "Itu baru benar-benar banjir mas," kata Heri (30), pendu­duk RT.03 RW 03 Kampung Pulau Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. la bercerita kalau banjir awal Februari 2007 lalu sebagai banjir yang membuat masya­rakat benar-benar menderita. Di wilayah mereka yang juga dikenal dengan Kampung Me­layu Kecil, terjangan banjir sudah merupakan bagian dari keseharian mereka. Tiba-tiba saja, air sudah menggenangi rumah mereka, karena Sungai Ciliwung meluap akibat banjir kiriman dari hulu.

"Kalau menggenang 50 cm sampai 1 meter saja, bukan banjir namanya. Genangan se­tinggi itu bisa muncul kapan saja. Jadi sudah kejadian se­hari-hari dan masyarakat menjadi terbiasa," kata En­dang Suherman (35), staf RT 03 sembari menjelaskan bah­wa kawasan pemukimannya terlandai di kawasan Kam­pung Pulo.

Ia menambahkan banjir ke­marin (awal Februari 2007) benar-benar dirasakan warga sebagai banjir sungguhan. Endang Suherman yang lahir dan besar di RT 03, mengaku baru pertama kali merasakan siksaan banjir yang sedemi­kian parah, "Seumur-umur saya belum pernah merasakan banjir separah itu," katanya.

Ketika disinggung gagasan Tirta Sangga Jaya, baik En­dang Suherman maupun Heri, mengakuinya sebagai gagasan yang layak diperjuangkan un­tuk mencegah banjir seperti yang terjadi Febuari.

"Agar tau aja mas, rumah warga di sini baru benar-benar kering setelah tiga bulan. Lum­purnya saja satu meter tinggi­nya," kata Endang Suherman sembari menjelaskan bahwa penderitaan pasca banjir yang mereka alami luput dari pem­beritaan media massa.

Bagi warga Jakarta yang tinggal di bantaran Kali Cili­wung, bebas banjir benar-be­nar sebuah barang mewah. Penderitaan mereka selama puluhan tahun diterjang ban­jir bandang dan lumpur, sudah dikenal luas hingga ke manca­negara. Bahkan dengan pen­deritaan berkepanjangan itu pula, warga bantaran Kali Cili­wung mendapat kunjungan dari pesohor paling top, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Beberapa presiden, duta besar negara-negara sahabat, petinggi PBB maupun pimpin­an Bank Dunia, sudah me­ngunjungi daerah ini. Bebe­rapa presiden RI pun sudah bolak-balik mengunjungi me­reka. Demikian juga dengan beberapa tokoh dunia, bahkan tidak tanggung-tanggung, ibu negara Amerika Serikat Hillary Clinton (saat itu) pun sudah mengunjungi daerah ini pada tahun 1990-an.

Akan tetapi, setelah semua itu berlalu, nasib warga ban­taran Kali Ciliwung tetap tidak berubah. Hingga kini, harapan mereka menempati bantaran kali tanpa diusik banjir, ter­nyata masih ada. Harapan ini pun telah mereka tunggu selama puluhan tahun. Bahkan, bagi sebagian warga, penan­tian itu sudah menjadi impian sepanjang masa.

Kiranya tidaklah berlebihan jika gagasan Tirta Sangga Jaya, seperti menguatkan kembali harapan mereka untuk men­dapatkan pemukiman bebas banjir. Dengan gagasan Tirta Sangga Jaya, cita-cita lama mereka, mungkin saja masih bisa saja diwujudkan.

Menjawab Impian

"Mungkin nggak ini dilak­sanakan? Masih lama kali ini ya? Sepertinya, ini program jangka panjang," tukas mereka ketika melihat denah gagasan Tirta Sangga Jaya. Optimisme dari sejumlah Ketua RT di wilayah bantaran Kali Cili­wung pun langsung terlontar, setelah memahami konsep penanggulangan banjir ala Tirta Sangga Jaya. Bagi me­reka, bisa saja TSJ menjadi jawaban dari impian mereka selama ini.

Namun demikian, sebagai gagasan yang baru dimuncul­kan, sudah barang tentu jika gagasan Tirta Sangga Jaya belum dipahami masyarakat secara utuh. Terlebih jika me­reka juga belum pernah mem­baca penjelasan tentang ga­gasan Syaykh AS Panji Gumi­lang, pucuk pimpinan Lem­baga Pendidikan Al-Zaytun, sebagaimana yang menjadi laporan utama Berita Indone­sia (edisi 36). Sehingga wajar saja bila terjadi pemahaman yang kurang tepat.

Misalnya, ketika Tirta Sang­ga Jaya disebut sebagai proyek pembuatan sungai baru, di antara mereka ada yang lang­sung berpikir ke arah peng­gusuran besar-besaran di Ja­karta. "Daerah mana aja yang mau digusur nih," seru Wawan (48), Ketua RT 15 RW 12, Ke­lurahan Bukit Duri, Tebet, Ja­karta Selatan.

Namun setelah dijelaskan bahwa Tirta Sangga Jaya tidak berada di Jakarta, melainkan di wilayah Bodetabek, Wawan yang memimpin lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK), baru mengungkapkan responnya. "Gagasan ini sangat baik, tapi sepertinya untuk jangka pan­jang ya?" katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (26/5).

Wartawan Berita Indonesia menjelaskan, jika dilihat dari sisi kebutuhan Jabodetabek, gagasan ini justru sangat men­desak.-Sebab, tanpa infra­struktur penanggulangan ban­jir yang memadai, Jabode­tabek akan terns berlarut-larut dalam ancaman banjir. Bukan tidak mungkin banjir bandang seperti yang terjadi pada awal Februari 2007 lalu terus berulang setiap tahun.

"Harapan kita, gagasan ini dapat segera terwujud," im­buhnya. Ia juga berharap agar banjir yang terjadi pada awal Februari 2007 lalu tidak ter­ulang kembali. "Saya sudah se­jak lahir tinggal di sini, namun tidak pernah merasakan banjir sedahsyat itu," katanya sem­bari menunjuk bekas genang­an air di dinding rumahnya yang setinggi 2 meter.

Ditanya alasannya mengapa gagasan Tirta Sangga Jaya di­sebut baik, Wawan yang me­ngaku masih sempat melihat keindahan aliran air Ciliwung tahun 70-an, menyatakan gaga­san itu jauh lebih menyeluruh dibanding sekadar membenahi aliran Sungai Ciliwung. "Banjir Jakarta ini lebih banyak di­sebabkan luapan air dari Bogor. Walaupun Kali Ciliwung di­benahi, tanpa mengendalikan air dari Bogor, Jakarta akan tetap banjir," katanya.

Ia menambahkan, dengan konsep Tirta Sangga Jaya, ancaman banjir kiriman me­lalui Sungai Ciliwung sudah dapat dikontrol. Ia berharap agar gagasan ini bisa diwujud­kan sesegera mungkin, se­hingga banjir bandang yang terjadi pada awal Februari lalu, tidak terjadi lagi.
Dukungan yang sama juga diungkapkan Mulyadi (37), Ketua RT o6 RW 12 Kelurah­an Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. "Kalau untuk kebaik­an umum, saya dukung," kata­nya saat berbincang-bincang di rumahnya, Kamis (26/5). Menurutnya, dukungan ter­hadap pembangunan Tirta Sangga Jaya, bukan tidak ber­alasan.

Pokok Persoalan Tidak di Jakarta

Menurut Mulyadi, yang ber­mukim di bantaran kali sejak lahir, persoalan banjir yang menimpa Jakarta, khususnya di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, justru tidak ber­sumber dari Jakarta sendiri, melainkan dari luar Jakarta, khususnya Bogor. Jadi, per­soalan utama tidak berada di Jakarta, tetapi di daerah Bo­gor. Karena gagasan Tirta Sangga Jaya sudah menjang­kau pengendalian aliran air dari Bogor, maka pembangun­an Tirta Sangga Jaya menjadi gagasan yang harus didukung.

Lebih jauh, Ketua RT yang aktif mengampanyekan "ja­ngan buang sampah ke kali" itu menjelaskan sebuah realitas Kali Ciliwung, yang mungkin tidak banyak diketahui orang Kalau Jakarta diguyur hujan selama 2 hari, mungkin dae­rah-daerah lain di Jakarta sudah terkena banjir, tetapi Kali Ciliwung sendiri justru tidakbanjir. Itu membuktikan bahwa sumber banjir di ban­taran kali Ciliwung, bukan dari wilayah Jakarta, tetapi dari luar Jakarta. "Pengendalian­nya pun bukan di Jakarta, tetapi di Bogor dan daerah sekitarnya," katanya.

Ketua RT yang melayani 125 KK yang bermukim di ban­taran Kali Ciliwung itu meng­ungkapkan. "Kita sangat ber­terima kasih (kalau ada proyek penanggulangan banjir seperti ini), karena tidak mengganggu masyarakat yang ada di ban­taran kali Ciliwung. Tetapi, maaf kalau seandainya proyek ini jadi dan kita terkena (peng­gusuran-red), kita juga merasa keberatan," katanya.

Sementara itu, Muhammad (59), Ketua RT o5 RW 12 Bukit Duri, Tebet Jakarta Selatan, juga memberi pandangan yang sama "Kalau memang bisa ditanggulangi dengan seperti ini (Tirta Sangga Jaya-red), bagus sekali," katanya. Me­nurutnya, warganya tidak ke­beratan dengan pola seperti apa pun yang dilakukan pe­merintah untuk menanggu­langi banjir.

"Kami sebagai warga hanya menginginkan bagaimana agar tidak banjir," kata ketua RT yang melayani 120 KK warga di bantaran Kali Ciliwung ini. Ia menjelaskan bagaimana warganya bergelut mengha­dapi banjir bandang awal Februari lalu, hingga harus mengungsi. Bahkan lebih dari seminggu setelah puncak ban­jir, mereka tetap tidak bisa menempati rumahnya karena penuh dengan lumpur.

Sudah Jadi Tradisi

Di antara sejumlah pemu­kiman yang ada di bantaran Kali Ciliwung, kawasan paling, rawan banjir, sesungguhnya bagian dari kawasan daerah yang menjadi bagian wilayah Jakarta Timur. Kawasan yang menjadi bagian dari Kelurahan Kampung Melayu ini terdiri dari 2 RW, yang masing-ma­sing dihuni 4000 warga. Dae­rah ini sering disebut dengan Kampung Melayu Kecil, wa­laupun nama administratifnya adalah Kampung Pulo.

Menurut Ketua RT o3 RW 03 Kampung Pulo R. Budi Budril, yang ditemui Berita, Indonesia di rumahnya yang bersisian dengan tepian Kali Ciliwung, mengatakan bahwa warganya sudah terbiasa de­ngan banjir. "Boleh dibilang sudah menjadi tradisi," kata­nya Kamis (26/5).

Karena itu, langkah-langkah. apa pun yang diambil peme­rintah untuk menghindar: banjir di bantaran Kali Cili­wung, pasti didukung. "Kon­sep ini (gagasan Tirta Sangga. Jaya-red) sangat kami dukung. Saya secara pribadi melihatnya (desain-red) sudah. bisa mengendalikan banjir di wilayah Jabodetabek," kata­nya sembari menekankan bah­wa hal yang paling penting adalah perwujudan gagasan itu sendiri.

"Warga di sini pun saya pikir akan sangat berterima kasih jika proyek ini benar-benar terwujud. Dengan adanya proyek pe­ngendalian banjir seperti ini, kami akan bisa hidup dengan lebih tenteram," katanya. (Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
Berita Selengkapnya !

TSJ dan Raja Purnawarman

Tirta Sangga Jaya, dilihat dari perspektif sejarah, ternyata bukan sebuah berita besar. Nenek moyang bangsa Indonesia justru telah mengerjakan proyek-proyek yang Iebih besar dengan dukungan peralatan yang sangat sederhana.

Apakah bisa diwujudkan? Ini mungkin pertanyaan yang dilontarkan setiap orang begitu melihat desain Tirta Sangga Jaya (TSJ) yang memang cukup mahal. Pertanyaan seperti ini tentu­nya sangat wajar mengingat besarnya dana yang dibutuh­kan untuk mewujudkan ga­gasan Tirta Sangga Jaya. Bah­kan, jika dilihat dari besarnya sumber daya yang digunakan, bisa dikategorikan sebagai proyek mercu suar. Akan te­tapi, dari sisi manfaatnya, TSJ tidak pantas dikategorikan mercu suar dengan citra pro­yek gagah-gagahan, karena manfaatnya jauh lebih besar dari sumber daya yang diguna­kan untuk mewujudkan TSJ. Karma itu, Drs. Mushoddiq (46), Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Cipta Karya Informatika (CKI) Jakarta dan Dosen Sekolah Tinggi ilmu Ekonomi (STIE) IPWIJA, mengatakan tantang­an apa pun yang dihadapi, tidak seharusnya menjadi pengham­bat untuk mewujudkan TSJ.

"Soalnya, perwujudan TSJ ditunggu banyak orang dan dibutuhkan seluruh warga Jakarta, Bogor, Depok, Tange­rang, dan Bekasi," katanya ketika ditemui Berita Indone­sia di sela-sela aktivitas me­ngajarnya, Jumat (18/5).

Mushoddiq yang juga pe­ngajar bidang studi sejarah di SMU Negeri 103 ini, mengata­kan proyek pengendalian ban­jir TSJ sebenarnya bukan se­suatu yang terlalu besar dari perspektif sejarah. "Nenek moyang kita sudah mengerja­kan hal-hal yang setara dengan TSJ di awal tarik Masehi," katanya.

Ia merujuk Raja Purnawar­man yang memimpin Kerajaan Tarumanegara (400-500M), membangun proyek saluran air pengendalian banjir dan irigasi, bernama Sungai Candrabhaga, sepanjang 6.122 busur atau 11 kilometer. Yang sangat memukau dari pem­buatan Sungai Candrabhaga (Bekasi) dan Gomanti (Kali Mati, Tangerang). Penggalian sungai itu diselesaikan hanya dalam waktu 21 hari melibat­kan puluhan ribu orang. Raja Purnawarman memotong 1.000 ekor sapi untuk sela­matan selesainya pembuatan sungai tersebut.

Menurut prasasti Tugu, Ci­lincing, Jakarta Utara, pening­galan abad kelima dari raja yang beragama Hindu ini sudah memperhatikan pengen­dalian banjir di musim hujan dan melindungi petani dari kekeringan pada musim ke­marau. Sejarahwan Belanda, DR J Ph Vogel yang pernah menstrakripsi dan menelaah Prasasti Tugu, kini berada di Museum Nasional, sang raja sangat memperhatikan peng­airan sawah-sawah para pe­tani. Artinya, kerajaan ini sudah mencapai taraf yang tinggi di bidang pertanian.

Berdasarkan Prasasti Tugu dan prasasti-prasasti lainnya, kekuasaan Kerajaan Taruma­negara meliputi wilayah Banten, DKI Jakarta, Bogor, Be­kasi dan Citarum. Kata Chan­dra dalam Chandrabhaga, berarti sari atau bulan. Chan­drabhaga artinya sama de­ngan Kali Bagasasi, kemudian berubah jadi Bhagasi atau Bekasi sekarang.

Prasasti Tugu dan Chandra­bhaga terletak di antara lokasi yang sama jauhnya. Ini men­cerminkan pelestarian ke­seimbangan ekosistem. Sang raja menempuh kebijakan pe­mukiman yang juga didasar­kan pada azas keseimbangan ekologis. Karenanya, raja memperbolehkan rawa-rawa di pedalaman diuruk untuk pemukiman. Maka muncul nama-nama, seperti Rawa Bangke, Rawa Puter atau Ra­wa Puter. Tetapi rawa-rawa di pesisir pantai tidak boleh di­urug untuk pemukiman, ka­rena merupakan kawasan hu­tan (bakau) lindung dan re­sapan air.

Atas kerja kerasnya, para sejarahwan memberi apre­siasi yang sangat luar biasa terhadap karya monumental Raja Purnawarman tersebut. Sampai saat ini, karya besar Raja Purnawarman masih dapat dinikmati oleh masya­rakat Jakarta. Menurut para arkeolog, Sungai Bagasasi di abad ke-5, sudah berganti nama menjadi Kali Bekasi.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
Berita Selengkapnya !

Terpulang Pada Pemerintah Daerah

Hanya kerja sama antar daerah yang dapat menghilangkan ancaman bencana banjir di wilayah Jabodetabeka. Dukungan masing­masing daerah terhadap pembangunan Kanal Tirta Sangga Jaya jadi tolok ukur.

Banjir bandang yang secara serentak me­landa seluruh wila­yah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) awal Februari 2007, sebenarnya membukti­kan bahwa tatakelola air di seluruh kawasan tersebut me­rupakan satu kesatuan. Satu daerah di kawasan tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland) daerah lain, de­mikian juga sebaliknya.

Saling mempengaruhi men­jadi kata kunci pengelolaan berbagai dimensi kehidupan di seluruh wilayah Jabodetabek, terutama menyangkut kependudukan, transportasi, dan lebih khusus menyangkut pe­ngelolaan air. Namun dalam kenyataannya, pengelolaan tersebut dilakukan secara par­sial oleh masing-masing daerah.

"Setiap daerah tidak akan mampu mengantisipasi sen­diri ancaman banjir di daerah­nya, melainkan harus bekerja sama dengan seluruh wilayah," kata Drs. Budi Muntoro (43), pengajar Geografi SMU Negeri 103, Jakarta Timur, saat me­nanggapi konsep pengendalian banjir Kanal Tirta Sangga Jaya (TSJ), yang digagas oleh Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang.

Budi memberi contoh pe­nanggulangan banjir di Ja­karta. Langkah tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mem­bangun resapan air Banjir Kanal Barat (BKB), ternyata tetap tidak berhasil. Bahkan, kalaupun proyek Banjir Kanal Timur (BKT) diselesaikan, tetap tidak bisa jadi jaminan bagi Jakarta, terbebas dari ancaman banjir bandang.
"Dari segi keilmuan, ide ini (TSJ-red) sangat bagus," kata­nya. Kerusakan lingkungan yang memicu bencana banjir di wilayah DKI Jakarta, me­nurut Budi Muntoro, justru terjadi di wilayah Selatan Ja­karta, terutama wilayah Bogor dan Puncak.

"Jika gagasan Syaykh AS Panji Gumilang ini terwujud, maka limpahan air dari arah Selatan Jakarta, seperti Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur) akan dapat dikontrol di regu­lating dam (dam pengatur) kanal TSJ," katanya. Muntoro menyatakan apresiasinya pada desain Tirta Sangga Jaya yang menyediakan dam pengatur.

Sebab menurut Muntoro, tidak hanya aliran air yang penting menghilangkan banjir, tetapi pendistribusiannya juga tidak kalah penting. "Kalau ada sentral pendistribusian air seperti di sini (menunjuk peta ­red), maka keluar masuknya air dapat diatur, baik ke Ja­karta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodeta­bek). Dengan demikian, pem­bagian air dapat merata, baik ke arah Barat (Sungai Cisa­dane), Timur (Kali Bekasi) dan di tengah (Kali Ciliwung)," tuturnya.

Muntoro, meskipun meng­apresiasi gagasan pembangun­an kanal TSJ, merasa khawatir dengan realisasinya. "Yang men­jadi masalah, mungkinkah ga­gasan ini dilaksanakan? Apakah masyarakat dan pemerintah Provinsi Banten dan Jawa Barat dengan mudah merelakan ta­nah-tanah mereka untuk ke­pentingan proyek TSJ,?" kata­nya dalam nada bertanya.

Pertanyaan ini dijawab sen­diri oleh Muntoro dengan memberikan asumsi-asumsi. Kalau dilihat dari sisi komer­sialnya, berapa puluh ribu hektare tanah yang dikorbankan untuk itu? Apalagi sampai menggusur ka wasan industri, akan sangat merugikan para pengusaha. Dia mencontohkan kawasan industri di Bekasi, kalau sampai tercakup kawasan proyek TSJ akan berbenturan dengan para pengusaha dan hilangnya, pendapatan sejumlah industri.

Dalam asumsi lain, kata Muntoro, bisa jadi masyarakat merasa diuntungkan karena kanal TSJ akan merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya. Yang jelas. tambah Muntoro, akses lalu lintas di sekitar wilayah TSJ akan jadi sangat mudah. Masyarakat maupun pelaku usaha akan sangat mudah mengangkut bahan produksi serta mendistribusikannya, baik dari sisi biaya maupun waktu tempuh Selain itu, keberadaan kanal TSJ dapat merangsang percepatan industrialisasi di wilayah sekitarnya.
Juga dengan kehadiran kanal TSJ, bukan tidak mungkin menghidupkan kembali pelabuhan laut Banten yang sangat berperan di era Hindia Belanda Soalnya, kata Muntoro: "Terpulang pada masing-masing Pemda yang terlibat, mau bekerja sama atau tidak."
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
Berita Selengkapnya !

TSJ Rangsang Pertanian

Kanal Tirta Sangga Jaya (TSJ) tidak hanya sebagai prasarana pengendalian bajir, tetapi juga mendorong peningkatan kinerja sektor pertanian.

­Syaykh AS Panji Gumilang dengan gagasannya, ingin menyumbang pemikiran, sehingga bencana banjir serupa tidak terulang di masa-masa mendatang. Tujuan utama pembangunan kanal TSJ berfungsi sebagai prasarana pengelolaan air yang barns dilakukan secara komprehen­sif—mengontrol aliran air di se­luruh kawasan Jakarta-Bogor Depok-Tangerang-Bekasi.

Sepintas, dampak banjir bandang awal Februari lalu mengesankan lumpuhnya pe­layanan kota-kota di wilayah. Jabodetabeka, dan banyaknya korban yang berjatuhan. Na­mun, yang tidak kalah serius, dampak buruknya terhadap se­luruh dimensi perekonomian. Sektor pertanian merupakan salah satu basis ekonomi yang mengalami kerugian besar.

Itulah sebabnya, Kabag Umum Badan Ketahanan Pangan, Ir. Indra Mukti Harahap, langsung menyatakan dukungannya ter­hadap gagasan pembangunan kanal TSJ. "Saya sangat men­dukung realisasi pembangunan TSJ ini," kata Indra. kepada Am­ron Ritonga dari Majalah Berita Indonesia, Rabu (9/5). Menurut Indra, banjir ban­dang awal Februari sangat merugikan sektor pertanian dan berpotensi mengganggu stabilitas ketahanan pangan, baik dalam ruang lingkup dae­rah maupun nasional. Dia menjelaskan bahwa salah satu lumbung padi di Jawa Barat­, Karawang terendam banjir sehingga menurunkan volume produksi padi tahun ini.

Laporan berbagai sumber memperkirakan kerugian sangat besar tejadi pada sektor per­tanian, karena menimpa daerah daerah yang basis ekonominya ditopang oleh sektor tersebut. Di Subang dan Indramayu, misal­nya, 6.000 Ha sawah mengalami kerusakan. Sedangkan di seluruh Jawa Barat tercatat 17.000 Ha lebih lahan persawahan teren­dam banjir, 690 Ha.

Sebagai staf di Badan Ketahan Pangan (BKP), Indra menyadari dampak positif yang bisa diper­oleh bilamana gagasan kanal TSJ terwujud. Keberadaan kanal tersebut, tambahnya, tidak saja mencegah amukan banjir, tetapi juga merangsang pertumbuhan sektor pertanian di sekehlingnya.

"Saat ini, baik sewaktu musim hujan maupun musim kemarau selalu berdampak buruk pada sektor pertanian, turunnya ting­kat produksi, otomatis mempe­ngaruhi stabilitas ketahanan pangan nasional," kata Indra.

Kata Indra lebih lanjut, ke­jadian seperti ini tidak akan mun­cul lagi atau paling sedikit terku­rangi bilamana kanal TSJ terwu­jud. Pada musim hujan, kanal TSJ akan menampung air agar tidak meluap dan mengakibat­kan banjir. Sedangkan di musim kemarau, sebagai pemasok air irigasi pada lahan-lahan pertani­an di seluruh Jabodetabeka.

Gagasan Holistik

Tidak hanya wilayah Jabo­detabeka yang akan merasakan manfaat kanal TSJ, tetapi juga daerah-daerah disekililingnya, seperti Karawang, Purwakarta, Subang dan Sumedang. Karena­nya, Wakil Bupati Purwakarta H. Dedi Muliady SH, menyata­kan dukungannya terhadap pembangunan kanal TSJ.

Dedi mengatakan kepada wartawan Berita Indonesia di Purwakarta, Bernard Sihite, bahwa gagasan Syakh AS Panji Gumilang merupakan pemi­kiran yang holistik, realistis, dan brilian, sehingga sangat pantas ditindaklanjuti. Waduk Jati Luhur dan Waduk Cirata, menurut Dedi, juga dikelola dengan menerapkan pola ma­najemen air berskala nasional, seperti yang ingin diterapkan Syaykh dengan kanal TSJ.

Bencana banjir awal Februari lalu, tambah Dedi, harus menjadi pelajaran di dalam mengelola air di seluruh kawasan yang terkena banjir saat itu. "Pengelolaan air yang ada sekarang menuntut pembaharuan sehingga dapat secara optimal menghindari ban­jir” katanya.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
Berita Selengkapnya !

Sumber Masalah Harus Dipahami Seluruhnya

Pembangunan Kanal Tirta Sangga Jaya, tetap harus diikuti dengan pembangunan situ-situ, ruang terbuka hijau, resapan air hingga pemulihan sungai. Ketiadaan solusi komprehensif dalam penanganan bencana banjir di wilayah Jabode­tabek, tidak terlepas dari ego daerah yang lebih menonjol daripada membangun kerja sama antardaerah. Hal ini terlihat jelas dari tidak adanya lang­kah-langkah bersama dari tiga peme­rintah provinsi (DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat), walaupun menjadi korban bersama saat terjadinya banjir bandang awal Februari 2007.

Kerugian yang sangat besar akibat banjir bandang tersebut, seharusnya men­jadi motivasi untuk membangun kerja sama antar daerah, namun dalam kenya­taannya, tidak demikian. Oleh karena itu, Marwan Batubara, anggota DPD Perwakilan Jakarta, masih berharap adanya payung hukum untuk mendasari pelaksa­naan solusi komprehensif tersebut.

"Bagi saya sebetulnya yang penting ada solusi komprehensif yang disepakati secara nasional, lintas departemen, lintas provinsi, dan dituangkan apakah dalam bentuk PP-kah atau Keppres, serta di­jalankan secara konsisten. Di sini yang paling penting kita punya satu rujukan, dan harus menegakkan pelaksanaan atau enforcement-nya," katanya kepada war­tawan Majalah Berita Indonesia Haposan Tampubolon, di kantornya, Rabu (16/5).

Solusi Banjir dan Kekeringan

Ketika diminta pandangannya tentang gagasan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang tentang solusi komprehensif penanggulangan banjir dan kekeringan dengan konsep Kanal Tirta Sangga Jaya, Marwan menyatakan tidak bisa banyak berkomentar. Karena belum tahu persis bagaimana ide Kanal Tirta Sangga Jaya. "Saya tidak menolak, tidak juga men­dukung, karena saya belum tahu detail tentang apa yang menjadi konsep Pak Panji Gumilang (Syaykh Al-Zaytun). Tetapi saya mengingatkan, di samping mengatasi banjir kita harus juga meng amankan pasokan air," katanya.

Dalam hal ini konsep pengelolaan air pada Kanal Tirta Sangga Jaya yang digagas Syaykh AS Panji Gumilang, juga menjadi harapan dari Marwan Batubara. Kanal Tirta Sangga Jaya merupakan mode pengelolaan air di musim hujan maupun kemarau. "Yang saya ingin sampaikan adalah kita bicara banjir, pada saat yang bersamaan kita juga harus meng-addres. (mengakomodasi, red) kebutuhan air terutama di waktu musim kemarau," katanya.

Marwan juga menegaskan perlunya pemikiran antisipatif dari dampak pem­bangunan Kanal Tirta Sangga Jaya "Jangan sampai pembangunan yang ada di sekitar Jakarta membuat nanti air tanah habis dan air laut itu datang. Sekarang, katanya, mungkin di bawah air laut sudah sampai di Hotel Indonesia (HI atau malah lebih ke atas. Ini kan bisa menurunkan permukaan. Air tanahnya diambil, pada saat bersamaan ada rembesan air laut," katanya.

Lebih jauh, Marwan mengharapkan adanya solusi yang lebih komprehensif. "Jangan sampai kita hanya membangun kanal, tapi mengabaikan pembangunan sumur resapan, mengabaikan pembangunan situ, dan mengabaikan ruang ter­buka hijau. Kalau hanya kanal yang kita address, kita punya masalah nanti ke depan airnya dari mana. Jangan sampai nanti seperti Singapura air mereka ter­gantung dari Malaysia," tandasnya.

Solusi Komprehensif

Pada dasarnya, Marwan menyatakan sangat setuju dengan pembangunan ka­nal, sebagai satu bagian dari pengelolaan air, namun belum komprehensif. "Bahwa kita perlu bangun kanal. Oke! Mungkin itu salah satu. Tapi bukan berarti kanal ini sebagai salah satu solusi terbaik, tidak," katanya. Menurutnya, semua faktor­-faktor penyebab banjir harus di-address.

"Kalau kita memang mau menahan air dengan penghijauan, itu harus dilakukan. Kalau selama ini ada yang namanya situ, itu harus disiapkan. Kalau sungai luas dan dalamnya harus sekian, itu harus dilakukan. Kalau memang air datangnya cuma dalam waktu tiga empat bulan yang banyak, harus disimpan karena kita akan menghadapi masa kemarau yang mungkin panjang. Kita harus punya reserve," katanya sembari menyebut pendataan faktor-faktor penye­bab banjir sebagai solusi komprehensif.

Oleh sebab itu, tambahnya, seandainya situ yang selama ini sudah ditutup, itu per­lu dibuka lagi, ya dibuka, gedungnya diru­buhkan. Daerah aliran sungai (DAS) yang selama ini sudah digunduli harus ditanami. Termasuk, kalau kita perlu membangun danau di daerah hulu harus dilakukan. Dan masyarakat sendiri, membangun sumur­-sumur resapan harus dilakukan.

Dalam hal ini ia mengingatkan, banyak­nya penggundulan hutan telah membuat waduk-waduk untuk PLTA bermasalah karena debit airnya berkurang dan terus berkurang. Ini sama saja dengan air. Ka­lau nanti sudah tidak ada lagi yang hijau atau daerah Puncak yang menjadi hulu bagi 13 buah sungai yang mengalir ke Jakarta sudah tidak hijau lagi, maka air tidak tertahan lagi dan langsung terbuang ke laut. Dengan demikian, kita akan bermasalah dengan air minum.

Ia lebih lanjut menjelaskan, kalau nanti membangun kanal, lalu kita biarkan juga penggundulan hutan, ya... itu tidak bisa. Artinya, jangan gara-gara kita sudah membangun kanal lalu tidak memper­hatikan bahwa daerah itu tidak boleh ditebang. Itu juga tidak bisa, kan? Harus semuanya, termasuk ruang terbuka hijau, tidak hanya berguna untuk resapan air saja tetapi juga menjadi paru-paru kota. Jadi banyak hal, katanya.

Untuk mendapat solusi yang kompre­hensif, tambah Marwan, semua masalah harus di-address. Kita tidak cuma bicara Banjir Kanal Timur (BKT) dan normali­sasi sungai, pembuatan situ. Tetapi terma­suk ruang terbuka hijau harus ditambah. Situ yang tadinya jumlahnya ratusan, se­karang tinggal puluhan, itu harus dikem­balikan sebagian besar. Daerah Jakarta Utara yang sekarang mungkin menjadi mal, menjadi ruko, harus dikembalikan.

Saat ditanya, bagaimana pembiayaan da­ri pengelolaan air di wilayah Jabodetabek, Marwan mengungkapkan hal itu sudah pernah dibicarakan dalam diskusi lintas provinsi, yakni Pemda DKI, Banten, dan Jawa Barat, lalu ada DPD DKI, DPD Banten, dan DPD Jawa Barat. Masing-ma­sing mempresentasikan programnya. Biaya keseluruhannya kira-kira Rp 17 triliun.

Dari seluruh biaya itu, menurut Marwan alokasi terbesarnya adalah untuk BKT, diikuti normalisasi sungai (berupa pengerukan sungai, pelebaran, penguruk­an, pembuatan benteng dan tanggul), dan selanjutnya pembuatan situ-situ. Namun ia tidak persis mengetahui apakah dana Rp 17 triliun sudah termasuk melakukan penghijauan di hulu sungai dan membuat sumur-sumur resapan, mungkin juga belum. "Tapi yang besar-besar yang sudah dimasukkan," katanya.

Payung Hukum dan Enforcement

Sisi yang tidak kalah pentingnya dari pengelolaan air di Jabodetabek, menurut Marwan Batubara adalah payung hukum dan penegakan hukum itu sendiri. "Yang juga penting adalah masalah enforce­ment," tandasnya. Ia mencontohkan, kalau memang satu gedung harus dirubuhkan, karena tadinya itu adalah tempat resapan air, situ, ya su­dahlah, rubuhkan. Jangan sampai nanti, karena berhadapan dengan jenderal atau konglomerat yang dibeking oleh aparat, lalu ini tidak dilaksanakan.

Oleh karena itu, tambahnya, kalau nanti di Puncak sana yang namanya vila-vila harus dihijaukan, ya harus dijalankan siapa pun yang punya vila itu. Makanya harus ada yang tertinggi dan siapapun tidak ada pengecualian, harus bisa menerima.

Ditanya tentang payung hukum penge­lolaan lingkungan Jabodetabek, Marwan dengan tandas menyatakan tidak cukup hanya dengan Peraturan Daerah (Perda) tapi Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres), karena menyangkut lintas provinsi, di mana peran pemerintah cukup menonjol.

Kalau perlu di tangan Presiden, sebagai institusi yang paling tinggi, jadi harus setara Keppres atau PP. Jika tidak, kelak ada kai­tannya dengan lintas provinsi, bupati atau kabupaten Bogor, Bekasi, Tangerang tidak akan mau tunduk kepada Gubernur DKI. "Karena itulah supaya dasar hukumnya komprehensif sebagai acuan untuk meng­-address masalah banjir, harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat, oleh yang memang benar-benar powerfull, mempunyai wewe­nang yang kuat supaya aturan atau PP bisa dijalankan secara konsisten," tandasnya.

Ditanya kemungkinan menggunakan pa­yung hukum Undang-undang (UU), Marwan menyatakan tidak melihat apakah memang perlu sampai dibuat UU-nya. "Seandainya dengan PP, sepanjang PP disepakati oleh ketiga provinsi, didukung oleh pemerintah dan DPR, itu saya kira bisa saja," katanya sembari menegaskan sikap­nya yang tidak terlalu mempermasalahkan apakah Undang-Undang atau PP.

Menurutnya, yang penting, seandainya pun itu cuma PP, toh itu berlaku secara nasional, dimana orang daerah harus tun­duk. PP mungkin cukup supaya tidak ter­lalu meluas, lebih cepat, lebih fleksibel, tapi juga punya aspek untuk mengatur yang sifatnya lebih nasional.
(Sumber Majalah Berita Indonesia – Edisi 39/2007).
Berita Selengkapnya !

Bisnis di Internet