Thursday, July 27, 2006

Pelajar Malaysia akan Menyerbu Indonesia

Indonesia bakal menjadi tujuan utama baru bagi pelajar pendidikan tinggi Malaysia secara besar-besaran. Ini menyusul persetujuan republika itu untuk meluluskan visa keluar masuk berulang-kali menjelang akhir tahun ini.

Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, mengatakan, persetujuan itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam salah satu agenda pertemuan di Jakarta, awal pekan ini.

Kemudahan terbaru itu, menuru Badawi, memungkinkan lebih banyak pelajar Malaysia memilih Indonesia untuk melanjutkan pendidikan dan tidak terbatas kepada bidang medis atau agama semata. "Saya diberi jaminan oleh Presiden bahwa kemudahan ini akan dipercepatkan dan saya kira itu bisa dilaksanakan, sebelum akhir tahun ini," katanya dalam juma pers, Senin (24/7), selepas pertemuan dengan 150 pelajar di Kedutaan Malaysia. Turut hadir, Menteri Pendidikan Tinggi, Datuk Mustapa Mohamed dan Duta Besar Malaysia di Indonesia, Datuk Zainal Abidin Mohamad Zain.

Sejak sekitar 20 tahun lalu, pelajar Malaysia di republic ini Cuma diberi visa masuk sekali yang menimbulkan masalah setiap kali mereka perlu pulang ke tanah air atas sebab-sebab mendesak. Mereka perlu memohon lagi visa untuk kembali ke Indonesia.

Menindak-lanjuti kemudahan terbaru yang disetujui kedua belah pihak, pelajar Malaysia yang ingin memasuki universitas di Indonesia bakal diberikan visa keluar masuk berulang kali sepanjang masih menjalani pendidikan mereka. Badawi percaya, kemudahan terbaru itu akan menambah dorongan untuk pelajar Malaysia yang tidak mendapat temapt di institusi pendidikan tinggi negeri lain. Apalagi baiay pendidikan dan gaya hidup di Indonesia lebih rendah di bandingkan Inggris, Australia, dan Selandia Baru.

Saat ini ada sekitar 2.500 pelajar Malaysia di 17 universitas di Indonesia yang mendapat pengakuan Lembaga Akreditasi Negara (LAN). "Setelah ini, jumlah pelajar luar negeri di Indonesia mungkin paling banyak dari Malaysia. Lagi pula, pelajar Malaysia di sini tidak hanya Bumi Putera tapi banyak juga yang bukan Bumi putera," katanya.

Sebaliknya Badawi menawarkan kepada Susilo kesediaan Malaysia untuk mengambil bagian dalam memulihkan kondisi rumah korban tsunami di Pangandaran, Jawa Barat.

"Tawaran kita terima baik dan kita akan mendapatkan maklumat lanjut serta mengenal pasti dunia usaha kita yang bersedia membantu," kata Badawi.

Kedua pemimpin juga membicarakan perkembangan agresi Israel di Lebanon. Masing-masing menyatakan ras tidak puas hati, duka cita, dan amat marah. Sebab, Negara itu diperlakukan sedemikian rupa tanpa ada kawalan hingga seolah-olah digalakkkan negara tertentu.
(Sumber Harian Republika – Rabu,26 Juli 2006)
Berita Selengkapnya !

Al-Zaytun Pionir Sistem Pendidikan Satu Pipa

Al-Zaytun telah sepenuhnya menerapkan konsep sistem pendidikan satu pipa (one pipe education system). Mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kampus Peradaban bermotto toleransi dan perdamaian ini adalah pionir pendidikan satu pipa di Indonesia.


Kampus Al- Zaytun yang didirikan dan dikelola Yayasan Pesantren Indonesia ini diresmikan Presiden RI BJ Habibie dan pertama-kalinya memulai pembelajaran Kelas 7 tahun 1999. Enam tahun kemudian, tepatnya 1 Juli 2005, dibuka Kelas 1-6 (sekolah dasar) dan Universitas Al-Zaytun Indonesia. Sejak itu konsep system pendidikan satu pipa secara sepenuhnya mulai dilaksanakan di Al-Zaytun. Jika sebelumnya Universitas Al-Zaytun Indonesia dimulakan, kampus ini dikenal dengan Ma'had Al-Zaytun, maka sejak 1 Juli 2005, dikenal dengan nama Kampus Al-Zaytun.

Hari permulaan pembelajaran selalu dilakukan pada 1 Juli. Upacara permulaan pembelajaran itu, selalu diisi dengan penanaman nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Selalu saja Syaykh Abdussalam Panji Gumilang menyampaikan pesan dan nasehat untuk menyatukan visi perdamaian bagi segenap civitas akademika dan eksponen Al-Zaytun, bahkan juga dengan para wali siswa-mahasiswa (santri).

Pada kesempatan itu, kepada semua santri, guru, pengajar, dosen, karyawan, eksponen dan tamu undangan terhormat, termasuk para wartawan yang biasa hadir, Syaykh AS Panji Gumilang menyampaikan seruan kemanusiaan kepada seluruh umat manusia. Seruan kehidupan yang damai, toleran, dan demokratis.

Setiap kali mendengar seruan Syaykh untuk mewujudkan cita-cita perdamaian, toleransi, dan demokrasi itu, walau sudah berkali-kali, selalu saja terasa ada yang baru dan memberi semangat dan pemahaman baru. Terlebih, semua dikemas dalam sebuah seremoni yang mampu membangkitkan rasa percaya diri sebagai bangsa, untuk kemudian timbul semangat untuk mencintai bangsanya sendiri, dan sebagai kader-kader cinta damai otomatis mencintai pula bangsa-bangsa lain. Sebab ukurannya adalah rasa kemanusiaan yang tak mengenal batas dan perbedaan.

Seruan Memperkuat Indonesia

Sebagai institusi pendidikan yang memegang teguh semangat pendidikan kepesantrenan, namun dikelola dalam system modern dan ber-setting global, seremoni permulaan tahun ajaran baru setiap 1 Juli selalu ditandai dengan acara yang sarat penanaman nilai-nilai perdamaian, kebersamaan dan toleransi.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pembukaan Pembelajaran Tahun Ajaran Baru Bagi Pelajar dan Mahasiswa Al-Zaytun Tahun 1427-1428H/2006-2007M, pada 1 Juli 2006, yang berlangsung di Gedung Serbaguna Al-Akbar, juga berlangsung meriah. Ruangan terisi penuh lebih dari 10.000 orang santri, wali santri, koodinator Al-Zaytun dari seluruh Indonesia, guru, pengajar, dosen, eksponen YPI/Al-Zaytun, pimpinan organisasi siswa dan mahasiswa. Khusus kali ini dihadiri serombongan wartawan senior yang tergabung dalam East-West Center, terdiri dari negara-negara Asean dan AS.

Seremoni sendiri dimulai dengan kemunculan eksponen Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) dan Al-Zaytun, yang memasuki ruangan upacara dengan penuh rasa hormat. Tak berapa lama terdengar pulalah bunyi musik gending Jawa, pertanda orang yang ditunggu-tunggu akan datang yaitu Syaykh AS Panji Gumilang.

Santri rijal-nissa membentuk pagar betis begitu mendengan komando aba-aba serentak memberi hormat kepada Syaykh, yang sedang melangkah di atas karpet merah, membuat suasana hening sejenak. Syaykh berjalan didampingi Umi dan rombongan Ibu-Ibu lainnya. Di belakangnya menyusul Wakil Ketua YPI Ustadz Imam Supriyanto dan Sekertaris YPI Ustadz Abdul Halim, serta eksponen lainnya. Begitu Syaykh menduduki kursi, irama musik berhenti, hadirin khusyuk semua. Tak berapa lama bergemalah suara paduan suara diiringi musik modern menyanyikan lagu "Bangun Pemuda-Pemudi".

Sebelum lagu memasuki bait kedua, seorang orator berseru dalam balutan sajak perjuangan yang membahana. Ia mengajak semua pihak untuk membangun, sebab Indonesia harus kuat sebagai bangsa. Belasan ribu hadirin memberikan applaus, tepuk tangan, mengamini cita-cita bersama, Indonesia harus kuat.

Puisi yang menggelora semangat cinta kebangsaan, cinta dunia, dan cinta kemanusiaan itu :
Bait pertama : Wahai Pemuda Bangsa Indonesia, Bangunlah Engkau dari tidur panjangmu, Bangkitlah Engkau dari ketidak-berdayaanmu, Singsingkanlah lengan bajumu, Menuju Indonesia maju.
Bait kedua : Majulah membangun Negara, Majulah membangun dunia, Majulah membangun budaya, Tetaplah berusaha, Tunaikan tugas Negara.
Bait ketiga : Dalam persatuan, Kuasai negaramu, Indonesia harus kuat, Indonesia harus kuat, Indonesia harus kuat.

Seruan agar membangun Indonesia yang kuat itu membuat bulu roma bergidik, kuping bergetar, mata hati dan pikiran melihat jauh ke depan keagungan cita-cita Al-Zaytun yang mencerdaskan dan mendambakan perdamaian abadi di atas kemandirian Indonesia yang kuat.

Al-Zaytun berlambang warna, terlebih dahulu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, baru dilanjutkan "Mars Al-Zaytun" cipataan Abu Haqiqi, dan Mars Universitas Al-Zaytun Indonesia berjudul "Ajaran Ilahi Untuk Semua" gubahan Catur Tunggal.

Setelah itu acara dilanjutkan pidato pimpinan Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) Al-Hajh Imam Supriyanto, penyerahan topi kepada pelajar Kelas 1, Penyerahan panji kepada pelajar Kelas 7, dan pemakaian jaket almamater kepada mahasiswa Kelas 13 Universitas Al-Zaytun Indonesia oleh Syaykh AS Panji Gumilang. Syaykh kemudian pemberian pidato atau tausiyah pertanda resminya pemulaan tahun ajaran baru 1427-1428 Hijriyah atau 2006-2007 Miladiah.

"Pada kesempatan yang berbahagia ini kami selaku penanggung-jawab umum di institusi pendidikan Al-Zaytun mengajak para hadirin untuk memajukan pikiran kita, domir kita, sebagai ungkapan syukur kepada Allah, bahwa institusi pendidikan yang kita bangun bersama-sama, pada pagi ini mencapai umur ke-7, dan pada hari ini pula kita memulakan pembelajaran memasuki periode tahun 27 Hijriyah dan 2006 miladiah ini," kata Syaykh pada awal pidatonya.

Sekali lagi, serunya, mari kita panjatkan syukur kepada Allah atas segala karunianya yang telah dilimpahkan kepada kita semua, selaku umat manusia yang menghambakan diri kepada-Nya dalam bentuk dan person terhadap pendidikan ini.

Untuk itu semua, kata Syaykh, maka dengan mengharap ridho Allah SAW, dengan resminya pembelajaran tahun ini kami nyatakan dibuka. Semoga Allah SAW memberikan kekuatan kita semuanya memasuki pendidikan ini, dan melaksanakan pendidikan ini, memberikan segala upaya, kemudahan-kemudahan sehingga berjalan dengan baik sampai pada batas akhir tahun dengan selamat dan terus memulakan tahun-tahun selanjutnya.

Syaykh menjelaskan, Al-Zaytun pada umur yang ke-7 ini, telah memulaikan sebuah system satu pipa sehingga pembukaan pembelajarannya pun dimulakan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi secara bersama-sama.

"Kita menetapkan tahun baru, tahun ajaran baru, dan tanggal ajaran baru, yaitu di bulan Juli tepatnya tanggal 1 Juli setiap tahun. Dengan perhitungan, persemester enam bulan, dan kemudian diadakan libur satu bulan, selanjutnya semester genap lebih lanjut enam bulan, dengan libur satu bulan. Kita terapkan dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi pembelajarannya pun seperti itu. Mudah-mudahan, dengan cara yang seperti ini kita terus sanggup dan ikut mengikuti aliran atau perjalanan pendidikan nasional yang ada di Indonesia ini," kata Syaykh Panji Gumilang.

Lebih lanjut Syaykh, mengungkapkan tentang apa yang telah diikuti Al-Zaytun dari system pendidikan nasional. Pelaksanaan pendidikan nasional yang telah memiliki Undang-Undang Kependidikannya, oleh Al-Zaytun, 100 persen diikuti. Dengan sitem yang dilakukan oleh system pendidikan nasional sendiri, maupun oleh system yang diterapkan oleh Departemen Agama, sampai hari ini kita mengikutinya, dan tidak mengenyampingkan apa yang kita miliki, sebuah system kepesantrenan.

Didasari Pertimbangan Ilmiah

Dalam tahun ajaran 2006-2007, Al-Zaytun mendidik santri Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 2.342 orang (terdiri Rijal 1.248, Nisa 1.094), Madrasah Tsanawiyah 1.950 orang (terdiri Rijal 1.098, Nisa 852), Madrasah Aliyah 3.713 orang (terdiri Rijal 2.151, Nisa 1.562), Kelas dewasa SD, SMP, SMA 449 orang, dan perguruan tinggi Universitas Al-Zaytun Indonesia 581 orang (terdiri Rijal 337, Nisa 244). Sebaran perguruan tinggi itu terdiri dari Fakultas Pertanian Terpadu 148 orang (terdiri Rijal 84, Nisa 64), Fakultas Teknik 58 orang (terdiri Rijal 44, Nisa 14), Fakultas Kedokteran 127 orang (terdiri Rijal 53, Nisa 74), Fakultas Teknologi Informasi (TI) 97 orang (terdiri Rijal 64, Nisa 33), dan Fakultas Bahasa 151 orang (terdiri Rijal 92, Nisa 59).

Usai Syaykh memberikan tausyah pencerahan bagaimana cita-cita dan visi jangka panjang Al-Zaytun yang melebihi peradaban masa kini, diadakan pembagian hadiah uang tunai secara simbolis kepada johan atau juara-juara terbaik peringkat 1-3 dari setiap kelas 1-11. Peraih Johan Pelajaran Santri Al-Zaytun merata berasal dari berbagai daerah seluruh Indonesia termasuk dari Malaysia. Para Johan kebanyakan memiliki nilai rata-rata di atas 9,0. Sebuah pencapaian yang sangat masuk akal sebab pada Ujian Nasional (UN) 2006 pun, untuk tingkat tsanawiyah dari 784 siswa Al-Zaytun yang ikut UN semua (100%) lulus dan dengan perolehan nilai yang nyaris sempurna pula.

Imam Supriyanto, Wakil Ketua YPI mengatakan Al-Zaytun telah bersama-sama berjalan tujuh tahun untuk memajukan system pendidikan satu pipa atau one pipe eduation system dari MI hingga Universitas. Imam berharap, sepulang tugas pengabdian di masyarakat, santri dapat segera mengikuti kembali disiplin-disiplin yang sudah digariskan Al-Zaytun. Tujuan pendidikan sistem satu pipa ini, kata Imam, supaya kita semua dapat mewujudkan, atau dapat menunjukkan satu masyarakat, atau satu kumpulan yang segala sesuatu didasari denga pertimbangan ilmiah.

Sebuah peristiwa menarik menandai permulaan pembelajaran kali ini. Ustad Agus Syamsuddin, dengan papan tulisnya berukuran sedang tampil ke mimbar mencontohkan pelajaran gabungan tiga pelajaran bahasa : Inggris, Arab, dan Indonesia menjadi satu pelajaran tunggal bernama Bahasaku, Arabiyaqi, My language.

Ustad Agus Syamsuddin saling bertegur sapa dan berkomunikasi dengan ribuan santri dalam tiga bahasa. Penyatuan tiga bahasa Arab, Inggirs, dan Indonesia menjadi satu pelajaran atau tree in one, adalah sekelumit perubahan progresif di lingkungan Al-Zaytun. Sebab, berdasarkan hasil Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Al-Zaytun, dalam sidangnya direkomendasikan mata pelajaran keagamaan tak lagi diajarkan di kelas yang waktunya terbatas hanya 45 menit tiap satu jam pelajaran. Melainkan, mengajarkannya di luar kelas yang memiliki waktu tak terbatas atau 1 X 24 jam sehari. (Sumber Majalah Berita Indonesia-17/2006)
Berita Selengkapnya !

Jangan Biarkan Anak Jadi Generasi Lemah

"Masyarakat Indonesia jangan meninggalkan keturunan yang lemah. Amat tidak bertanggung jawa jika membiarkan anak-anak menjadi generasi yang lemah jasmani, rohani, akal dan perasaan." Pakar pendidikan Dr. Arief Rachman, MPd mengatakan itu dalam seminar untuk menyambut Hari Anak Nasional (HAN) di Departemen Agama (Depag), Jakarta, Rabu (19/7). HAN akan diperingati pada 23 Juli.

Dr. Arief Rahman, MPd menghimbau, masyarakat Indonesia untuk berbenah diri dalam pembinaan dan pendidikan anak-anak dan menjadikan mereka genarasi muda yang kuat dan berkualitas.

"Kita semua sebagai anggot masyarakat berperan dalam membentuk anak-anak yang tangguh dan berkualitas. Ada kata-kata mutiara yang mengingatkan kita agar jangan meninggalkan keturunan yang lemah. Amat tidak bertanggung jawab jika membiarkan anak-anak kita menjadi generasi yang lemah. Lemah jasmani dan rohani, lemah akal dan perasaan," katanya dalam acara yang dipandu Lula Kamal dan menghadirkan pembicara lainnya, pakar keagamaan Quraish Shihab serta Sekjen Depag Bachrul Hayat.

Dr. Arief Rahman, MPd yang juga Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (badan PBB yang menangani pendidikan, sains, dan kebudayaan) menambahkan, untuk memwujudkan generasi yang kuat dan berkualitas itu, harus disertai sinergi tiga pilar yaitu pembangunan kebudayaan, pembangunan keagamaan, dan pembangunan pemerintahan. "Pembangunan anak-anak dan generasi muda harus diarahkan pada pembangunan budaya, agama, dan pemerintahan yang baik. Sebab tidak bisas membangun bangsa secara terpenggal-penggal," cetusnya.

Selain itu, dia juga meminta agar pemerintah tidak memberi nuansa yang meragukan atau double standard. Sebab apabila begitu, sulit muncul harapan akhlak atau moral yang baik dari generasi penerus bangsa. "Akhlak atau moral yang mulia itu datang dari orang-orang yang berakhlak, media yang berakhlak, serta pemerintahan yang berakhlak. Jadi kita tidak bisa menuntut anak untuk berakhlak mulia kalau tidak ada keteladanan."

Senada dengan Dr. Arief Rahman, MPd, Quraish Shihab mengatakan, anak-anak jangan selalu dibebankan untuk berakhlak mulia atau bermoral, padahal orang tuanya tidak memberikan keteladanan moral dan akhlak yang baik. "Mereka diminta tidak merokok, tetapi orangn tuannya merokok. Mereka diminta sholat, tetapi orang tuannya tidak sholat," katanya.

Sedangkan Sekjen Depag Bachrul Hayat mengemukakan saat ini masih banya terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak seperti terjadinya kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan diskriminasi, bahkan tindakan yang tidak manusiawi.

Kekerasan itu, berdasarkan data dalam buku Kekerasan terhadap Anak di Mata Anak Indonesia yang berisi hasil survey terhadap sekitar 600 anak dari 18 provinsi di Tanah Air, tertulis kekerasan yang dialami anak laki-laki umumnya mengenai fisik. Sedangkan anak perempuan lebih banyak mengalami kekerasan psikis dan seksual.

Ia juga menambahkan, anak-anak yang berasal dari keluarga yang secara staus ekonomi, pendidikan, dan social tergolong lemah, masih banyak yang dipaksa bekerja di luar batas kelayakan, bahkan mengabaikan hak-hak anak itu sendiri.

Hal itu disebabkan oleh masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap substansi hokum yang ada atau belum maksimalnya usaha sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Perangkat hokum tentang perlindungan dan kesejahteraan anak sudah cukup memadai, namun dalam kenyataannya instrumen tersebut tidak berjalan optimal dalam menjamin perlindungan dan penegakan hak anak.(Sumber Media Indonesia –Jumat,21 Juli 2006)
Berita Selengkapnya !

Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Kebijakan ujian nasional yang dicanangkan pemerintah salah satunya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dengan membuat standar soal yang sama untuk mendapatkan jawaban yang sama pula dari semua peserta didik di seluruh pelosok negeri ini.

Namun, tidakkah pemerintah menyadari bahwa kondisi pendidikan di setiap daerah di Indonesia berbeda-beda, bahkan mengalami kesenjangan yang demikian tinggi. Kesenjangan itu berupa infrastuktur pendidikan, tenaga pengajar dan materi pelajaran yang tidak semuanya sama. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil belajar.

Menyimak pernyataan dua kepala sekolah di SMK Kelautan Majene, Sulawesi Barat dan SMA Dharma Kirti di Kabupaten Karang- asem, Bali, yang semua siswanya tidak lulus Ujian Nasional, mereka mengakui betapa dalamnya jurang kesenjangan pendidikan di daerah itu. "Guru-guru yang kami punyai hanya dua yang berstatus pegawai negeri. Itupun dengan gaji yang sangat minim. Bagaimana mereka bisa konsentrasi menagajar jika harus cepat-cepat mencari nafkah," ujar Kepala Sekolah SMA Dharma Kirti, Karangasem, Bali pasrah ketika diwawancarai SCTV.

Fasilitas yang tidak memadai serta guru-guru yang kurang berkualitas dengan gaji yang sangat minim memang akan memperngaruhi hasil didik. La Ode Ida berpendapat, untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, bukan Ujian Nasional yang perlu dilakukan. Melainkan terlebih dahulu mendukung berbagai keperluan dalam proses belajar mengajar sehingga para guru dan murid secara bersama-sama konsentrasi meningkatkan kualitas pendidikan.
(Sumber Majalah Berita Indonesia –17/2006)
Berita Selengkapnya !

Takaran Nilai Lulus dan Tidak

Para pengamat pendidikan berpendapat bahwa takaran lulus dan tidak yang hanya mengandalkan nilai hasil Ujian Nasional adalah tidak fair. Mestinya kelulusan tidak hanya didasarkan pada UN. Karena proses belajar yang sudah dijalani selama 3 tahun akan sia-sia belaka.

Kontroversial seputar ujian nasional (UN) mengerucut karena hasil ujian nasional ini akhirnya menjadi penentu lulus dan tidaknya seorang siswa, baik pada tingkat SD, SLTP, maupun SLTA. Seandainya lulus dan tidaknya siswa tidak hanya berdasarkan nilai hasil ujian nasional, namun juga nilai harian dan nilai ujian umum, maka kontroversi tidak akan setajam sekarang ini.
Sebab hanya dengan mengandalkan nilai ujian nasional dan mengabaikan nilai-nilai harian dan prestasi belajar lainnya, akan mengesankan bahwa waktu uang tiga tahun hanya akan selesai dengan dua hari saja. Artinya, mereka merasa sia-sia telah belajar selama tiga tahun. Bagaimana jadinya jika seorang siswa yang sejak kelas I hingga kelas II pada setiap semesternya mendapat rangking, kemudian setelah mengikuti ujian nasional ada satu saja mata pelajaran yang tidak memenuhi standard nilai UN, kemudian dia dinyatakan tidak lulus? Bagaimana dengan siswa yang selalu mendapat nilai rendah setiap semesternya, namun pada ujian nasional dia bisa memenuhi standard nilai UN?

Tentunya, bukan hanya siswa dan orang tuanya yang kecewa, namun guru-gurunya pun akan sesak dada. Sebab mereka akan mendapati siswa yang setiap saat mendapat rangking di kelas namun akhirnya tidak 'lulus'. La ode Ida, Wakil Ketua DPD berpendapat bahwa kebijakan ini telah mengabaikan proses selama tida tahun belajar. Sehingga para siswa yang telah mempelajari sejumlah materi pelajaran di bawah bimbingan guru sebagai pendidik langsung yang bertanggung-jawab. "Di sinilah luar-biasanya kebijakan itu. Yakni waktu belajar tiga tahun hanya diganti dengan system penilaian berdasarkan proses belajar satu atau dua malam saja. Anehnya, yang diuji hanya tiga mata pelajaran yang berarti secara langsung pula tidak memberi apa-apa terhadap mata pelajaran lain. Tepatnya pengorbanan guru dan siswa selama tiga tahun sama sekali tidak dihargai oleh kebijakan pemerintah yang konyol ini," katanya.

Guru Penentu Kelulusan

La Ode Inda merujuk, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, guru atau pendidiklah yang berhak melakukan evaluasi belajar tahap akhir siswa. "Ini artinya, guru dan sekolah secara bersama-sama memiliki otonomi untuk menentukan kelulusan para siswanya. Karena memang merekalah yang sehari-hari berinteraksi dan mengetahui persis kondisi murid-muridnya," ungkapnya.

Senada dengan itu, pengamat pendidikan Prof. Dr. Arief Rahman mengusulkan agar kelulusan dikembalikan pada kepala sekolah dan dewan guru. Sebab, katanya merekalah yang paham betul bagaimana siswa tersebut belajar selama tiga tahun di sekolah masin-masing.

Untuk itu, seperti dikutip Kompas, 22Juni, Arief Rachman mengusulkan agar siswa yang nilai UN-nya masih dalam ambang batas toleransi tetap diluluskan tanpa perlu mengikuti ujian ulangan. Sebagai praktisi pendidikan yang sudah berpengalaman puluhan tahun, Arief Rachman percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan adak didik bukan hanya ditentukan dengan ujian yang hanya dua jam. Namun, perlu juga mempertimbangkan keberhasilan proses belajar dari kelad I, II dan III. Dan itu, hanya dewan guru dan kepala sekolah yang tahu masing-masing prestasi siswanya. (Sumber Majalah Berita Indonesia, – 17/ 2006)
Berita Selengkapnya !

Para Korban UN 2006 Meminta Keadilan

Para siswa yang dinyatakan tidak lulus ujian nasional tingkat SLTA, mengaku sangat kecewa karena kelulusannya hanya ditentukan oleh nilai ujian nasional saja. Padahal diantara mereka banyak siswa berprestasi bahkan telah diterima di perguruan tinggi dalam maupun luar negeri tanpa tes. Haruskah langkah mereka terhenti?

Kekecewaan para siswa itu bukan sekadar mereka lampiaskan dengan air mata. Kompas, (22/6), memberitakan 4 siswa SMA Negeri 10 Jakarta yang tidak lulus ujian nasional (UN) mencoba bunuh diri. Ini bukan lelucon, satu anak kedapatan menyayat pergelangan tangannya dengan pisau silet. Yang lain telah mempersiapkan gelas dan sekaleng obat pembasmi serangga. Satu lagi mengalami sters berat dan mengulang-ulang ucapan "lebih baik aku mati."

Dari kejadian itu dapat tergambar, betapa sistem ujian nasional ini telah merusak mental mereka yang tidak lulus. Padahal banyak diantara mereka tergolong siswa berprestasi karena nilai hariannya selalu masuk peringkat atas. Misalnya, Melati Mukti Pertiwi (17) siswa SMA Negeri 8 Jakarta Selatan yang dinyatakan tidak lulus ujian nasional padahal sejak kecil dia juara kelas. Selama di SMA prestasi belajarnya juga cukup cemerlang. Bahkan dia telah ditawari beasiswa untuk meneruskan studi di Australia dan Jerman karena kemampuan bahasa Jermannya sangat bagus.

Bayu Taruna, siswa kelas III SMA Negeri 71, Jakarta Timur. Sebelumnya anak pasangan Eni an Bambang Purwo Sedono ini telah dinyatakan lulus seleksi penelusuran minat dan bakat (PMDK) di Universitas Brawijaya, Malang Fakultas Teknik Pertania. Namun, langkahnya itu harus terhenti karena dia tidak lulus UN.

Di Kabupaten Semarang, Alex Arida yang pernah menjadi juara Olimpiade Fisikia se-Jawa Tengah juga tidak lulus. Nilai matematika-nya hanya 3,0 padahal dia dikenal sebagai anak pintar dan selalu berada di peringkat I dan II di kelasnya. Dia juga sudah diterima di Universitas Negeri Semarang.

Mencari Keadilan

Kenyataan itu bukan saja memukul Melati, Bayu, Alex Arida dan siswa-siswa berprestasi lain, tapi juga kedua orang tua mereka. Wajar jika mereka lalu meminta keadilan. Sebab selama tiga tahun mereka belajar seolah-olah tak ada artinya. Empat terhadap nasib mereka, berbagai kalangan mendesak Mendiknas agar menggelar ujian nasional susulan. Mereka menilai, dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan telah mengorbankan hak asasi peserta didik dan mengingkari prinsip multi kecerdasan.

Rabu, 21/6 sejumlah orang tua murid dan siswa yang gagal UN berkumpul di Institute for Education Reform Paramadina, Jakarta. Setelah melakukan testimony, mereka bersama-sama menghadap Komisi X di Gedung DPR/MPR untuk segera mendesak pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional untuk memutuskan adanya ujian ulangan.

Mereka juga mendatangi Komnas HAM, menuntut agar ujian ulangan diadakan dan kebijakan UN ditinjau kembali. Suara-suara lain menuntut agar DPR segera membentuk tim independent untuk menginvestigasi apa yang sesungguhnya terjadi di alam penyelenggaraan UN sehingga banyak anak pintar tidak lulus. Selain itu, mereka juga mendatangi Komnas Anak, yang diterima langsung oleh Ketua Komanas Anak, Seto Mulyadi. Seto melihat, hasil UN ini merupakan tragedy yang sangat memukul jiwa anak. Apalagi mereka sampai depresi, mentalnya down dan mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang fatal. Jadi, pemerintah harus menseriusi tragedi ini.

Tak ada Ujian Negara Ulangan

Namun, apapun gejolak yang terjadi, pemerintah tetap menegaskan tidak ada ujian nasional (UN) ulangan. Bahkan Wapres Jusuf Kalla menegaskan tidak ada UN ulangan karena akan merugikan siswa yang lulus dan berdampak buruk terhadap mutu pendidikan nasional. Padahal ada atau tidaknya UN ulangan, bagi siswa yang sudah luus tidak banyak berpengaruh. Sebab UN ulangan hanya untuk siswa yang dinyatakan tidak lulus.

Alternatif yang ditawarkan bagi siswa SLTA yang tidak luls UN adalah mengikuti program kelompok belajar paket C. Jika mereka nanti lulus ujian paket C, maka bisa mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 2006/2007. Untuk itu, Menteri Pendidikan Nasional akan melayangkan surat kepada seluruh rektor perguruan tinggi, termasuk TNI, agar mereka bisa menerima.

Lulusan kelompok belajar paket C setara dengan UN Sistem Pendidikan Nasional. Materi dan standar kelulusan paket itu pun sama seperti UN jalur formal. Untuk lulus harus meraih nilai di atas rata-rata 4,5 dan setiap mata pelajaran harus memperoleh nilai 4,25. Agar lulusan ujian paket C ini dapat dipakai untuk mendaftar di perguruan tinggi, maka ujian kesetaraan paket C ini dipercepat menjadi Agustus dari rencana semula, November 2006. Beberapa perguruan tinggi menyambut baik hasil keputusan pemerintah ini. Namun, masih banyak dikabarkan ada beberapa perguruan tinggi yang masih "piker-pikir."

Bahkan Koran Tempo (27/6), memberitakan, ketua Forum Rektor Eko Budiharjo sempat menyatakan perguruan-perguruan tinggi negeri menolak ijazah paket C. Namun beberapa perguruan tinggi negeri memiliki sikap berbeda. Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, Universitas Gajahmada dan Universitas Sebelas Maret bersedia menerima pemegang ijazah paket C.

Namun demikian, anjuran Menteri itu berbenturan dengan jadwal beberapa perguruan tinggi. Ujian paket C baru akan dilaksanakan akhir Agustus, sementara itu beberapa perguruan tinggi negeri tersebut sudah menutup pendaftarannya sebelum Agustus dan awal September sudah memulai perkuliahan. Selain berbenturan dengan jadwal akademik, panitia penerimaan mahasiswa baru Universitas Sebelas Maret mengaku kesulitan mengakomodasi pemegang paket C.
Rektor universitas itu, Syamsulhadi mengatakan, formulir seleksi peneriman mahasiswa baru tidak menyediakan kolom lulusan di luar SMA dan sederajat. "Kalau mau diterima pendaftaran mereka, formulirnya tidak tersedia," kata Syamsulhadi seperti dikutif Koran Tempo. Lagi-lagi rumitnya aturan menjadikan anak didik sebagai korban system yang masih coba-coba.

(Sumber Majalah Berita Indonesia,– 17/ 2006)
Berita Selengkapnya !

BSNP Rampungkan Kurikulum untuk SMA

Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) telah menerbitkan model kurikulum untuk SMA setebal 600 halaman. Sedangkan untuk SD, SMP dan SMK diperkirakan rampung akhir pekan ini. Ketua BSNP Bambang Suhendro mengatakan itu, kemarin, di Jakarta. Menurutnya, sekolah yang kesulitan untuk membuat kurikulum bisa memanfaatkan model tersebut. Akan tetapi, sekolah yang sudah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 tinggal menyempurnakannya saja.

"Tahun ajaran ini bisa diterapkan sekaligus di semua kelas, karena itu lebih mudah ketimbang yang masih menggunakan kurikulum 1994", kata Bambang.

Adapun model kurikulum yang ditawarkan oleh BSNP merupakan aplikasi kurikulum yang langsung bisa operasional. Sekolah tinggal melakukan modifikasi, antara lain dengan memasukan muatan lokal, kepentingan, dan potensi daerah dalam silabusnya.

Kurikulum yang diserahkan kepada sekolah untuk pembuatannya itu merupakan kurikulum yang berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis sekolah yang mengacu kepada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Selanjutnya, model kurikulum ini akan disosialisasikan oleh direktorat masing-masing di Depdiknas. Terserah Direktorat SMA, misalnya, dalam sosialisasinya akan menggunakan media apa. Yang penting, alternative itu harus yang paling efektif dan cepat.

Lebih lanjut Bambang menjabarkan, model kurikulum untuk SMA tebal. Sebab, berisis penjabaran standar isi maupun standar kompetensi, berikut silabus. Dengan demikian, model yang ditawarkan ini langsung bisa dioperasionalkan oleh sekolah.

Untuk pedoman umum pembuatan kurikulum maupun model kurikulum BSNP bisa langsung menerbitkannya sendiri, tanpa harus melalui keputusan Mendiknas, seperti standar isi dan standar kompetensi kelulusan.

Berdasarkan Peraturan Mendiknas No. 22/2006, beban belajar untuk SD/MTs 516-621 jam per tahun uuntuk kelas 1-3 dan kelas 4-6 sebanyak 635-709 jam, SMP/Mts/SMP luar biasa 725-811 jam per tahun, SMA/MA/SMA luar biasa 969-1.111,5 jam per tahun, dan SMK/MA kejuruan 1.026 jam per tahun dengan standar minimum.
(Sumber Media Indonesia, – Jumat, 21 Juli 2006)
Berita Selengkapnya !

TV Edukasi Masih Asing

Standar mutu pendidikan yang diterapkan Pemerintah beberapa waktu lalu melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menimbulkan dampak cukup besar. Akibat adanya standar batas atas dan bawah, sebagian besar lulusan SMP baik unggulan maupun non-unggulan tidak dapat ditampung di SMA favorit.

Penerapan standar ini didasarkan pada jumlah NUN (Nilai Ujian Tertinggi) tertinggi yang mendaftar di sekolah tersebut. Otomatis bagi mereka yang NUN-nya jauh lebih rendah harus mencari sekolah lain yang sesuai dengan NUN mereka.

Berangkat dari permasalahan ini, Departemen Pendidikan Nasional kemudian menggandeng TVRI untuk mengadakan siaran televisi edukasi. Siaran ini rencananya mulai mengudara 17 Juli 2006. Televisi edukasi ini ditujukan untuk siswa kelas 3 guna mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian mendatang.

Depdiknas meluncurkan program TV pendidikan bekerja sama dengan TVRI. Tiap Senin hingga Kamis pukul 07.00-09.30 ditayangkan program tiga mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Sasarannya siswa kelas 3 di 28.376 SMP negeri dan swasta di 353 kabupaten yang dianggap minim fasilitas dan belum memiliki kemampuan standar.

Setiap sekolah bakal mendapat dua pesawat televisi. Namun, Depdiknas menganggarkan pembelian 75.000 TV. Pembelian sarana itu menyedot anggaran terbesar dari total Rp 213,69 miliar. Sementara itu, berdasarkan pantauan Indo Pos di beberapa sekolah di Jakarta, pihak sekolah belum mengetahui rencana Mendiknas itu. (Sumber Indopos – Ahad, 16 Juli 2006)
Berita Selengkapnya !

Sunday, July 16, 2006

Melek Huruf, Masih Perlu Kerja Keras

Upaya untuk meningkatkan pencerdasan kepada masyarakat terus dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Salah satunya adalah meluncurkan program baru. Siaran pendidikan di televisi untuk anak kelas 3 SMP selama Senin hingga Kamis mulai 17 Juli mendatang itu menggandeng TVRI.

Tiga mata pelajaran yang bakal disiarkan merupakan materi yang diujikan di ujian nasional (UN), yakni Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Rencana materi yang masih digogok Pustekkom itu disiarkan tiap pagi, pukul 07.00-09.30. Siaran diulang pukul 14.15-16.30.

Target program itu adalah 28.376 SMP negeri maupun swasta di 353 kabupaten di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah memberikan subsidi dua buah TV berukuran 30 inci untuk tiap SMP. Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 213,690 miliar untuk penyiapan materi sekaligus pengadaan sekitar 75.000 TV. Peluncuran materi pendidikan ini untuk membantu kota kecil mengejar ketertinggalan sehingga mencapai standar yang ditetapkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).

Meski siaran ini merupakan konsekuensi pelaksanaan UN karena dirasa masih ada disparitas mutu dan fasilitas antara kota besar dan kota kecil, dan tidak sedikit menuai protes dari berbagai kalangan, program ini barangkali membantu percepatan peningkatan dunia pendidikan Indonesia. Termasuk pemberantasan buta aksara, meski tidak secara langsung. Apalagi, semua penduduk yang masuk jangkauan wilayah mengudara teve plat merah itu bisa akses siaran.

Beberapa daerah di Indonesia masih mempunyai tingkat buta aksara yang tinggi. Total masyarakat usia 15 tahun ke atas yang mengalami buta huruf karena tidak mengenyam dunia pendidikan sekitar 14,5 jiwa. Dua daerah, Jawa Timur dan Jawa Tengah menempati posisi tertinggi.

Dilihat dari sebarannya, di Jateng paling banyak di empat kabupaten yang masing-masing di atas lima persen. Yakni, Brebes (223.155 jiwa), Tegal (173.172 jiwa), Sragen (173.606 jiwa), dan Wonogiri (170.168). Selain itu, ada 16 kabupaten/kota di Jateng memiliki tingkat buta huruf 2,5 persen sampai 5 persen.

Padahal, Jateng masuk wilayah barat. Di mana, menurut Bambang, angka melek huruf cenderung cukup tinggi di wilayah Indonesia bagian barat, di atas rata-rata 90 persen. Tapi kenyataan di Jateng lebih rendah, di bawah 90 persen. Indeks kemiskinan Jateng 21,11 menurut Bambang memiliki pengaruh terhadap nilai rata-rata ujian nasional (UN).

Sedangkan DKI, masuk kategori zona bebas aksara. Pada 2006 ini prediksi pantauan pemberantasan buta huruf dari gambaran zona merah, DKI termasuk yang paling minim jumlahnya dan terbebas dari tanda merah. Jakarta memiliki Indeks Prestasi Kasar (IPK) dan Indeks Prestasi Murni (IPM) yang cukup tinggi. Dengan kata lain, angka melek huruf di ibu kota cukup tinggi.

Data dari Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta menyebutkan, sekitar 14 ribu jiwa penduduk di Jakarta mengalami buta huruf. Namun menurut kepada Dikmenti DKI Jakarta Margani M Mustar, 90 persen dari jumlah tersebut adalah warga pendatang, bukan asli Jakarta.

Melihat realitas tersebut, pemberantasan buta aksara masih merupakan momok bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sebenarnya, tidak hanya pemerintah, semua pihak harus mempunyai kepedulian agar semua warga melek huruf. Tentunya, bagi mereka yang masih buta aksara mempunyai keinginan yang kuat untuk melek huruf.

Pemahaman bersama sangat penting agar semua persoalan, khususnya percepatan pendidikan keaksaraan terpenuhi. Ini juga harus didukung dengan berbagai fasilitas. Dalam hal ini, pemerintah melalui Depdiknas juga harus memikirkan bagaimana agar terjadi pemerataan pendidikan.

Semua warga, termasuk mereka yang berada di lokasi terpencil mendapat pelayanan dan akses yang mudah untuk memperoleh pendidikan. Di sinilah diperlukan dana yan tidak sedikit.

Rasanya tidak salah jika diperlukan anggaran dana pendidikan yang memadai. Saat ini, anggaran pendidikan yang masuk dalam APBN 2006 hanya 9,1 persen. Padahal, sesuai dengan amanat UUD 1945 harus sampai 20 persen. Untuk memenuhi kuota 20 persen anggaran untuk pendidikan, beberapa waktu lalu, Wapres Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah masih membutuhkan dana sekitar 40 triliun. Dan, untuk memenuhi anggaran 20 persen dari total APBN saat ini sangat berat dipenuhi.

Memang, kalau bicara masalah kendala dunia pendidikan di Indonesia, seperti mengurai benang kusut. Tapi, bagaimanapun sulit dan besar kendala yang dihadapi, semua harus optimistis dan membuka diri bahwa pendidikan sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Untuk itu, perlu kerja keras dan perjuangan.

Rakyat Indonesia harus mampu menjadi bangsa yang cerdas. Ini artinya, melek huruf suatu keniscayaan. Dengan bangsa yang cerdas, kita tidak mkudah dibohongi dan bisa sejajar dengan bangsa lain. (Sumber Indopos – Ahad, 16 Juli 2006)
Berita Selengkapnya !

TV Edukasi Masih Asing

Standar mutu pendidikan yang diterapkan Pemerintah beberapa waktu lalu melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menimbulkan dampak cukup besar. Akibat adanya standar batas atas dan bawah, sebagian besar lulusan SMP baik unggulan maupun non-unggulan tidak dapat ditampung di SMA favorit.

Penerapan standar ini didasarkan pada jumlah NUN (Nilai Ujian Tertinggi) tertinggi yang mendaftar di sekolah tersebut. Otomatis bagi mereka yang NUN-nya jauh lebih rendah harus mencari sekolah lain yang sesuai dengan NUN mereka.

Berangkat dari permasalahan ini, Departemen Pendidikan Nasional kemudian menggandeng TVRI untuk mengadakan siaran televisi edukasi. Siaran ini rencananya mulai mengudara 17 Juli 2006. Televisi edukasi ini ditujukan untuk siswa kelas 3 guna mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian mendatang.

Depdiknas meluncurkan program TV pendidikan bekerja sama dengan TVRI. Tiap Senin hingga Kamis pukul 07.00-09.30 ditayangkan program tiga mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Sasarannya siswa kelas 3 di 28.376 SMP negeri dan swasta di 353 kabupaten yang dianggap minim fasilitas dan belum memiliki kemampuan standar.

Setiap sekolah bakal mendapat dua pesawat televisi. Namun, Depdiknas menganggarkan pembelian 75.000 TV. Pembelian sarana itu menyedot anggaran terbesar dari total Rp 213,69 miliar. Sementara itu, berdasarkan pantauan Indo Pos di beberapa sekolah di Jakarta, pihak sekolah belum mengetahui rencana Mendiknas itu.
(Sumber Indopos – Ahad, 16 Juli 2006)
Berita Selengkapnya !

Friday, July 14, 2006

Hasil UN Depok Terburuk se-Jawa Barat

Pelaksanaan, ujian nasional tahun ini membuat dunia pendidikan Kpta Depok coreng-moreng. Bagaimana tidak, dari seluruh kota/kabupaten se-Jawa Barat, wilayah yang dikomandoi Nurmahmudi Ismail itu menduduki temapat teratas untuk kategori wilayah dengan angka kegagalan UN tingkat SMP/MTS tertinggi. Sementara itu, tingkat SMA/SMK menempati urutan kedua terburuk.
Data terakhir yang dihimpun Indo Pos menyebutkan, untuk tingkat SMPT/MTS dari togal 13.507 peserta UN, 1.835 siswa di antaranya tidak lulus. Jumlah tersebutlah yang menempatkan Depok pada urutan pertama wilayah dengan jumlah siswa gagal tertinggi. Sementara itu, di tingkat SMA/SMK, dari 25 kota/kabupaten yang ada, Kota Depok berada pada posisi kedua terburuk se-Jabar. Yaitu, dengan jumlah siswa gaal UN sebanyak 566, dari total 9.874 peserta.
Kepala Sub Bagian Tata Usaha Dinas Pendidikan Kota Depok Asep Roswanda mengatakan, untuk menindak-lanjuti hasil pengumuman UN tersebut, perlu ada evaluasi yang mendalam di seluruh lini. "Bukan hanya di sekolah, tetapi di lingkungan Disdik juga. Bagaimanapun, banyaknya peserta yang tidak lulus merupakan tanggung jawab kitas semua sebagai pelaku pendidikan," ujarnya.
Sejumlah masyarakat yang ditemui mengaku terkejut dengan kondisi pendidikan Kota Depok saat ini. Bahkan tak sedikit pula yang menyatakan kekhawatirannya. Misalnya, RIna Sendouw, 41, warga Perumahan Taman Duta, Sukmajaya. "Jika mutu pendidikan di Depok tidak diperbaiki. Lebih baik anak saya melanjutkan sekolahnya di Jakarta saja," ujar ibu beranak dua itu.
Hal senada diungkapkan Mufti, 36, warga Jalan Raya H. Usman, Kelurahan Kukusan, Beji. "Mendingan sekolah di Jakarta sajalah, biar nggak pusing mikirin anak bakal lulus apa nggak." Ujarnya. "Putra saya, tahun ini akan masuk SMP. Saya takut nasibnya sama seperti siswa SMP yang tak lulus UN di Depok," ujarnya.
Menanggapi kekhawatiran para orang tua tersebut, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Disdik Kota Depok Andi Suwandi mengatakan, itu hak mereka untuk menentukan anak-anaknya bersekolah di mana saja. "Itu hak masing-masing orang tua, kita tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya. (Koran Indopos, Rabu, 28 Juni 2006).

Berita Selengkapnya !

Menuju Bangsa Yang Lulus

Departemen Pendidikan Nasional dalam sorotan. Besarnya persentase kelulusan ujian nasioanl (unas) tak meredakan kritik tajam kepada institusi itu. Para pembela siswa yang tak lulus menuntut unas ulang. Namun Mendiknas Bambang Sudibyo, didukung Wakil Presiden Jusuf Kalla, sudah menyatakan tidak.

Memang menyedihkan melihat para siswa tidak lulus. Terlebih bila mereka dianggap berprestasi, misalnya lewa olimpiade keilmuan, ternyata tak bisa melampaui standar nilai unas yang hanya 4,25. Tapi, itulah konsekuensi ujian. Dalam ujian apapun, ada risiko tidak lulus. Keinginan lulus semua lewat ujian tanpa standar ibarat berkompetisi sepak bola tanpa risiko degradasi. Atau, ibarat main bola tanpa gawang. Pasti tak akan ada semangat memacu diri dalam situasi semacam itu.

Memang, segala aspek pendidikan di Negara ini perlu pembenahan, seperti ditegaskan dalam Jati Diri Koran Indopos (Jum'at, 23 Juni 2006). Salah satu pembenahannya ialah menerapkan standar yang kian baik. Karena nilai itu secara formal diukur dengan angka, perlu standar tersebut kian meningkat.
Bila kita piker lebih dalam, standar nilai 4,25 itu sudah sangat rendah. Bila di perguruan tinggi, itu setara dengan nilai D. Nilai D tidak lulus, tapi di ujian nasional lulus. Jadi, standar unas itu sudah sangat rendah. Sebagai bangsa, kita sudah "merendahkan" standar pendidikan kita dengan nilai yang sangat minimum.
Menurunkan standar lagi, misalnya menjadi 4,1, mungkin menyenangkan para siswa dan para guru. Pemerintah juga bisa senang karena presentase ketidak-lulusan bisa diperkecil lagi. Gejolak dan reaksi bisa tidak sesengit sekarang. Everyone happy.
Tetapi, jelas ini kian menjauhkan pendidikan bangsa dari keharusan meningkat. Seharusnya, standar justru dinaikkan hingga minimal menjadi 5,5 (kalau dibulatkan jadi 6, berarti lulus). Kalau bisa, makin tinggi lagi agar bisa menjadi bangsa B atau bahkan A. Bangkit dari standar "bangsa tidak lulus" menjadi "bangsa lulus" memang memerlukan pengorbanan.
Suka atau tidak suka, degan cara inilah, salah satu di antaranya kita mengukur keberhasilan pendidikan secara kognitif. Koran Indopos, jelas juga memandang penting ukuran kuantitaif secara afektif dan psikomotorik (Jati Diri Koran Indopos - Jum'at, 23 Juni 2006). Tapi, untuk ukurang angka-angka nilai itu, yang memang sudah menjadi konvensi, harus semakin baik.
Tuntutan standar, yang kian tinggi itu juga demi kepentingan bangsa dan anak-anak kita. Tak hanya untuk kancah global, tetapi demi meningkatkan grade mereka dalam persaingan dalam negeri. Kerja keras dalam persaingan harus ditanamkan, tidask hanya diberi kemudahan yang melenakan. Ingat, kesiapan menerima risiko termasuk juga bagian dari pendidikan.
Pelajaran terpenting juga : Orang tua harus terlibat lebih intens terhadap proses pendidikan anak. Tak hanya menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah. Mereka harus memperbarui kedekatan hubungan dengan anak-anak agar mereka selalu punya motivasi untuk suskses dalam pendidikan. Dengan begitu, orang tua tidak hanya cemas saat ujian nasional datang, tanpa menyelami proses pendidikan anaknya. Semoga ujian nasional kali ini juga membawa pencerahan kepada orang tua.
Memang, pembenahan harus dilakukan di berbagai bidang oleh pemerintah. Terutama dalam aspek pelaksanaan ujian yang ditengarai banyak memancing kecurangan kolektif antara siswa yang didukung guru. Setiap system memang ada kelemahan. Yang penting, memperbaikinya terus menerus.
Di lain sisi, tuntutan ujian nasional ulang mungkin belum akan mereda. Tapi, kalau dituruti, akankah tidak memperkuat kesan bahwa pemerintahan SBY memang peragu, seperti kerap dikemukakan pengkritiknya? Ketegasan itu berisiko, terlebih lagi ketidak-tegasan.
(Koran Indopos, Senin, 26 Juni 2006).
Berita Selengkapnya !

Ujian Nasioanl 2006, Al-Zaytun Menuai Prestasi Gemilang

Dalam usianya yang masih relatif muda, Al-Zaytun mencetak prestasi gemilang. Sebanyak 1253 siswa-siswi di Al-Zaytun yang mengikuti ujian nasional dinyatakan lulus 100% dimana 85% di-antaranya memperoleh nilai di atas 7, jauh di atas rata-rata nasional. Bahkan Al-Zaytun berhasil meraih semua peringkat Top 100 se-Jawa Barat baik dari program studi IPA maupun IPS. Selain itu, nilai semua bidang studi yang diujikan juga mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu.

Raut wajah Syaykh AS Panji Gumilang terlihat segar dan cerah sore itu. Kedua tangannya yang memakai sarung tangan hitam bergerak melambai menyambut tiga orang wartawan Berita Indonesia yang datang berkunjung untuk meliput perkembangan di Al-Zaytun yang kebetulan pada hari itu adalah hari pengumuman secara nasional hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) 2006.

Kerap kali, pria yang membidani terbentuknya lembaga pendidikan berskala internasional ini tertawa lepas bahkan terbahak-bahak. Siapa saja yang ada di dekatnya ikut tertawa entah itu karena mendengar lucu guyonannya atau tertawa karena tertular semangat dan suka cita yang dirasakan oleh Syaykh. Syaykh dan segenap eksponen Al-Zaytun termasuk siswa-siswi dan orang tua murid patut berbangga hati. Sebab semua peserta didiknya dinyatakan lulus bahkan dengan prestasi yang luar biasa. Pada program IPA, siswa-siswinya merebut peringkat 1-100 se-Jawa Barat kecuali untuk peringkat 10 yang diambil oleh sekolah lain. Begitu pula dengan program studi IPA, siswa-siswinya menduduki peringkat 1-100 se-Jawa Barat. Ibarat singa, merajai hutan belantara, begitu pula Al-Zaytun di tengah belantara dunia pendidikan khususnya di Jawa Barat.

Ujian Nasional 2006 untuk tingkat Aliyah ini merupakan yang kedua kalinya diadakan di Al-Zaytun. Pada UAN 2005, dari 1.251 peserta didik terdapat 1 siswa yang tidak lulus (0,079%). Namun, dalam UAN 2006 ini semua siswanya dinyatakan lulus dengan nilai kelulusan jauh di atas rata-rata nasional.

Dari segi nilai rata-rata, program studi IPA masih lebih unggul dibandingkan dengan program studi IPS. Sebanyak 96,55% siswa program studi IPA (551 orang) mendapat nilai di atas 7. Sedangkan program studi IPS (702 orang) jauh tertinggal sebesar 73,65%. Bukan berniat mengecilkan program studi IPS, keunggulan ini juga bisa dilihat dari nilai antara 5-6 yang diperoleh di kedua program studi ini. Semua siswa progam studi IPA (311 rizal, 240 nisa) mempunyai nilai rata-rata 6 ke atas sedangkan dari program studi IPS (431 rijal, 271 nisa ) masih terdapat 9 siswa yang mendapat nilai 5-6. Jumlah ini memang terbilang kecil dan menjadi bersifat relative apabila melihat jumlah siswa program studi IPA yang lebih kecil dibandingkan dengan program studi IPS.

Begitu pula dengan jumlah siswa yang mendapat nilai 10 dimana pada program studi IPA, terdapat 2 siswa (0,36% - 1 rijal, 1 nisa) untuk bidang studi Bahasa Indonesia, 27 siswa (4,90% - 21 rijal, 6 nisa) untuk bidang Bahasa Inggris, dan 16 siswa (2,90% - 12 rijal, 4 nisa). Sedangkan pada bidang studi IPS, jumlah siswa yang mendapat nilai 10 sangat kecil dimana 1 siswa (0,36% - 1 nisa) untuk bidang studi Bahasa Indonesia, 2 siswa (0,28% - 1 rijal, 1 nisa) untuk bidang studi Bahasa Inggris. Sedangkan bidang studi ekonomi yang seharusnya menjadi "lahan"nya, tidak satupun siswa yang mendapat nilai 10.

Bila melihat tingkat penyebaran nilai rata-rata di kedua program studi untuk tiga bidang studi yang diujikan, program studi IPA juga tetap lebih unggul. Hanya 3,45% yang mendapat nilai antara 6-7. Persentase terbesar, 54,63% siswa mendapat nilai antara 7-8, 33,21% mendapat nilai antara 8-9 dan 8,71% mendapat nilai antara 9-10. Sedangkan pada program studi iPS, terdapat 26,21% siswa mendapat nilai antara 6-7. Persentase tersebesar, 68,09% siswa mendapat nilai antara 7-8, 55,56% mendapat nilai antara 8-9 dan 0,14% mendapat nilai antara 9-10. Atau dengan kata lain, 96,55% siswa program studi IPA mendapat nilai di atas 7 dan 73,79% siswa program studi IPS mendapat nilai di atas 7.

Pada program studi IPA, dari tiga bidang studi yang diujikan, Bahasa Indonesia mempunyai porsi nilai yang terbaik. Dari 551 siswa, 6 orang (1,09%) mendapat nilai antara 6-7, 108 orang (19,60%) menapat nilai antara 7-8, 283 orang (51,36%) mendapat nilai antara 8-9, 152 orang (27,59%) mendapat nilai antara 9-10, 2 orang (0,36%) mendapat nilai 10. Bandingkan dengan hasil UAN 2005, dimana 351 orang (56,07%) mendapat nilai antara 7-8 dan 103 orang (16,45) mendapat nilai antara 8-9.

Sedangkan Bahasa Inggris, penyebaran nilainya terbilang merata dengan catatan masih perlunya dilakukan sejumlah perbaikan di tahun mendatang sebab terdapat 112 orang (20,33%), 47 rijal, 65 nisa, mendapat nilai 6-7. Bila dibandingkan dengan hasil UAN 2005 dimana 38,50% (241 orang) siswa mendapat nilai 6-7, hasil UAN 2006 ini memang sudah lebih baik.

Hasil yang diperoleh program studi IPA untuk bidang studi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masih jauh lebih baik bila dibandingkan dengan program studi IPS. Walau demikian, bila dibandingkan dengan hasil UAN tahun lalu, nilai kedua bidang ini untuk program studi IPS meningkat drastis. Tahun lalu, untuk bidang studi Bahasa Indonesia hanya 12 orang (1,925) yang mendapat nilai antara 8-9, sedangkan tahun ini, terdapat 36,18% atau 254 orang mendapat nilai 8-9. Untuk nilai antara 7-8 tidak ada perbedaan yang berarti, tahun lalu terdapat 50,40% (315 orang) , tahun ini terdapat 48,72% (342 orang). Untuk bidang studi Bahasa Inggris juga terjadi peningkatan. Tahun lalu, porsi terbesar sebanyak 70,40% (440 orang) mendapat nilai antara 6-7 sedangkan tahun ini, persentasenya menurun menjadi 4-,29% (346 orang). Penurunan persentase ini tampak berpindah ke jumlah siswa yang mendapat nilai 7-8 dimana tahun lalu sebesar 22,72% (142 orang) dan tahun ini meningkat menjadi 42,17% (296 orang).

Satu hal yang juga perlu diperhatikan tentang hasil UAN 2006 ini, nilai dua mata pelajaran "khas" milik kedua program studi yaitu Matematika dan Ekonomi juga mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu. Pada program studi IPA untuk bidang studi matematika, sebanyak 58,08% (320 orang) mendapat nilai antara 7-8. Persentase ini memang jauh meningkat dibandingkan tahun lalu sebesar 35,46% (222 orang). Begitu pula dengan persentase jumlah siswa yang mendapat nilai antara 7-8 untuk bidang studi ekonomi mengalami peningkatan dimana tahun ini sebanyak 50,57% (355 orang) dan tahun lalu sebanyak 35,46% (222 orang). Namun untuk persentase jumlah siswa yang mendapat nilai di atas 8 masih sama seperti tahun lalu sekitar 5%. Begitu pula, untuk nilai antara 6-7 tidak ada peningkatan yang berarti dibandingkan tahun lalu, sebanyak 44,32% (277 orang) dan tahun ini sebanyak 42,31% (297 orang).

Dari hasil Rekapitulasi Nilai Ujian Nasional 2006 ini, keluarga besar Al-Zaytun boleh berbangga hati. Tawa Syaykh yang berderai seakan menghapus semua keringat dan air mata yang sudah tercurah. Di tengah terpaan badai kritik dan hinaan, Al-Zaytun masih tetap melaju sambil terus berbenah diri memperbaiki berbagai kelemahan dan kekurangan dalam mewujudkan visi menjadi lembaga pendidikan berskala internasional, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan toleransi serta sanggup berdiri bertempur di tengah kancah nasional dan internasional. Al-Zaytun masih akan terus membangun. Mengutip perkataan Syaykh beberapa tahun yang lalu, "Sekali roda sudah berputar, mobil akan tetap melaju, yang penting bagaimana mengemudikannya. Kita buktikan dengan karya nyata dan bukan dengan kata-kata".
(Sumber Majalah Berita Indonesia-16/2006)
Berita Selengkapnya !

Kelulusan UN 2006 Naik, Tapi Masih Banyak yang Tidak Lulus

Menurut Catatan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), angka kelulusan hasil ujian nasional atau UN tahun 2006 untuk jenjang SMA dan sederajat mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Namun, masih ada 14 sekolah yang seluruh siswanya tidak lulus.
Hasil ujian nasional atau UN tahun 2006 yang diumumkan di seluruh wilayah Tanah Air, Senin 19 Juni secara serentak disambut gembira, namun juga air mata. Gembira bagi mereka yang dapat memenuhi target standar nilai rata-rata kelulusan 4,50 untuk semua mata pelajarannya. Namun, bagi yang tidak bisa memenuhi standar nilai, harus rela gigit jari karena dianggap tidak lulus.
Dalam siaran pers, Ketua Bada Standar Nasioanl Pendidikan, Bambang Suhendro mengatakan bahwa angka kelulusan jenjang SMA dan sederajat tahun ini mengalami kenaikan. Untuk sekolah menengah atas (SMA), angka kelulusan naik dari 80,76% menjadi 92,50%. Untuk madrasah aliyah (MA), dari 80,73% menjadi 90,82%. Untuk sekolah menengah kejuruan (SMK) dari 78,29% menjadi 91,00%. Sementara itu Madrasah Aliyah Al-Zaytun yang terdapat di wilayah Indramayu, dari 1253 siswa jurusan IPA dan IPS, lulus 100%. Jika dihitung dalam 1 kelas terdapat 40 siswa maka sekitar 31 kelas MA Al-Zaytun lulus ujian nasional. (lihat berita selengkapnya – Ujuan Nasional 2006)
Kendati mengalami kenaikan, ada sekitar 14 sekolah di beberapa daerah di Indonesia yang semua siswanya tidak lulus atau kelulusannya 0%. Sekolah-sekolah itu terdapat di Provinsi DKI Jakarta (6 SMA dan I SMK), Bali (3 SMA), Kalimantan Selatan (3 MA dan 1 SMA). Sedangkan di SMA N Tanjungsari Gunung Kidul, semua siswa jurusan IPA yang berjumlah 12 orang tidak lulus ujian nasional (Kompas , 20/6).
Menurut Bambang, peningkatan presentase kelulusan itu mengindikasikan terjadinya peningkatan mutu pendidikan sekolah menengah secara nasional. "Hasil ini antara lain disebabkan oleh kenaikan batas ambang rata-rata menjadi 4,50 dan kebijakan satu kali ujian, tanpa ada ujian ulangan," ujarnya.
Jerih payah yang sia-sia
Kesedihan tantu saja tidak bisa disembunyikan di wajah-wajah mereka yang tidak lulus. Media Indonesia memberitakan, sejumlah siswa SMA di Purwokerto, Jawa Tengah pingsan setelah tahu mereka tidak lulus. Sementara itu di SMK Kelautan Majene, Sulawesi Barat dan SMA Dharma Kirti di Kabupaten Karang Asem, Bali, semua siswanya tidak ada yang lulus ujian nasional. Siswa perempuan paling tidak mampu menyembunyikan kesedihan. Mereka menangis histeris, bahkan ada pula yang pingsan.
Lebih lanjut Media Indonesia mencatat, wajar jika mereka tidak bisa menerima hasil itu, karena jerih payah mereka selama ini akhirnya hanya sia-sia, tapi juga biaya sekolah yang sudah mereka keluarkan. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana dengan siswa yang sehari-hari angka prestasinya bagus, karena sesuatu hal misalnya sakit saat ujian sehingga nilai ujian nasionalnya jeblok di berapa mata pelajaran? Apakah hanya nilai ujian nasional yang menjadi patokan seorang siswa lulus atau tidak lulus? Haruskah mereka mengulang kembali di bangku kelas III selam 1 tahun lagi hanya karena satu atau dua mata pelajaran yang diuji itu tidak memenuhi standar nilai?
Seperti yang dialami Bayu Taruna, siswa kelas III SMA negeri 71, Jakarta Timur. Sebelumnya anak pasangan Eni dan Bambang Purwo Sedono ini telah dinyatakan lulus seleksi penelusuran minat dan bakat (PMDK) di Universitas Brawijaya, Malang Fakultas Teknik Pertanian. Artinya, Bayu telah terdaftar sebagai calon mahasiswa di universitas itu tanpa melalui tes. Namun, langkahnya itu harus terhenti karena dia tidak lulus dalam ujian nasional 2006. Tentu, kenyataan itu bukan saja memukul Bayu, tapi juga kedua orangtuanya.
Sungguh begitu menyedihkan, jika kelulusan hanya berdasarkan standar ujian nasional. Sementara bagi yang lulus ujian nasional pun mereka masih harus melalui tahap seleksi untuk masuk perguruan tinggi. Padahal belum tentu juga setelah mereka lulus ujian nasional di tingkat SLTA, menjadi jaminan "mendapat" tempat di perguruan tinggi negeri yang dituju. Jadi, ke mana sebenarnya arah pendidikan ini?(Sumber Majalah Berita Indonesia-16/2006)
Berita Selengkapnya !

Ketika Wapres Jusuf Kalla Menjawab Kontroversi UN

Demonya Boleh Tiap Hari, Tapi Ujiannya Tahun Depan

Pernyataan, Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu yang mengatakan pemerintah tidak akan mengadakan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus ujian nasional (UN) menuai kritik pedas. Tapi Wapres tetap kukuh, tidak ada ujian ulangan. Minggu malam lalu, didampingi Mendiknas Bambang Soedibyo, Wapress yang mengundang pimpinan media massa nasional memberikan penjelasan atas sikap tegasnya itu di rumah dinasnya, Menteng, Jakarta. Berikut petikan penjelasannya :

Ada paradigma, untuk meningkatkan pendidikan adalah uang , selalu bicara anggaran. Kalau uang tentukan pendidikan, mestinya negara-negara kaya minyak dengan pendapatan perkapita tinggi memiliki kualitas pendidikan tinggi. Tapi, untuk urusan IT (Teknoligi Informasi) justru India. Yang pendapatan perkapitanya seperti kita, dana sangat penting, sama pentingnya dengan system.
Yang mengkhawatirkan, kalau jian didemokratisasikan. Wah, bahaya kalau itu muncul.
Pendidikan kita akan mengalami set back. Tidak ada votingnya. Lulus lewat voting. Anak-anak merasa tidak perlu belajar karena sekian tahun (ujian) lulus terus. Buat apa belajar. Saya ingat bagaimana tahun 50-60an kerasnya ujian itu.
Jangan ada kesan anak-anak itu didemokratisasikan ujiannya. Demokrasi silakan. Tapi jangan di ujian. Demonya boleh tiap hari tapi ujiannya tahun depan. Kalau ada yang mengatakan standar kelulusan 4,32 terlalu tinggi, jangan harap tahun depan kita turunkan menjadi 4,1. nanti tahun depan kita dapat 4,5.
Ada kesan sampai sekarang dipakai orang, harus dikasih lulus karena pendidikan antara Jakarta dengan NTT, NTB, Kendari ada kesan dibedakan. Ada dongkrak nilai. Jika nilai enam di Jakarta, 4 di Kendari maka di konversi agar bisa sama dan lulus. Kalau begini, esensi secara nasional orang Kendari lebih bodoh dari Jakarta. Kenapa mesti berbeda? Nggak boleh begini. Kalau tidak ada standar nasional akan terpecah.
Mulai 2003, UN lagi. Coba dengan standar angka kelulusan 5, Mendiknas mengatakan yang lulus Cuma 45%, coba 4,5 maish. Turun 3,5 diperkirakan antara 10-15 persen tidak lulus. Betul saja 20%. Di Asia, kita kalah dengan Laos. Coa ke Malaysia, Singapura, Filipina. Semua Negara ada ujian nasional. Soal ujian nasional di Singapura saat ini malah yang membuatnya Cabridge.
Kritikan terkait tidak adanya ujian ulangan bagi mereka yang tidak lulus ujian nasional praktis menguap begitu saja, Wapres Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan mengatakan, tidak ada ujian ulangan. Minggu malam lalu saat mengundang pimpinan media massa nasional di rumahndinasnya, Menteng, Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan, di Asia, Indonesia kalah dengan Laos.
Malaysia, Singapura, Filipina, semua ngara ada ujian nasional. Soal ujian nasional di Singapura saat ini malah yang membuatnya Cabridge. Malaysia juga mulai tahun ini. Tahun 50-60an, ujian nasional matematika luar biasa sulit. Tahun 90an begitu gampangnya. Terjadi degradasi. Orang lain naikkan standar nilai, kita menurunkan. Kita mau jadi apa? Mau jadi bangsa kuli?
Kita harus punya kebijakan yang teags dan bertahan. Nanti tiap tahun yang tidak lulus bisa sekitar 10 persen. Tahun depan juga jangan harap lulus semua. Di India saya yang droup out 30 persen. Kita masih butuh waktu 3 sampai 4 tahun lagi untuk mencapai standar yang bagus. Pasti tetap ada yang tidak lulus. Namanya ujian.
Ini dipetakan, anggaran akan dibedakan. Misalnya, NTB lemah di Matematika, oke. Kita akan tambah anggaran di daerah itu untuk perbaiki mutu matematika. Tahun depan semua anak yang mengikuti ujian akan digeledah polisi untuk menghidari masuknya ponsel dan alat komunikasi lain dalam ruang ujian. Harus keras. Dengan cara itu bangsa ini berkeringat. Bangsa ini lembeknya mulai di sekolah.

Pemerintah susah sekali. Hampir tidak mungkin memenuhi anggaran pendidikan 20%. Tapi, percayalah, anggaran pendidikan akan kita tambah terus. Tahun ini sekitar Rp 36 miliar. Tahun depan sekitar Rp 40 miliar. Kalau mau memaksakan untuk menambah berarti harus menggerser anggaran dari pos departemen lain. Bisa, pendidikan maksimal 20% tapi tidak ada anggaran untuk kesehatan dan pembangunan. Sistem ujian yang sebelumnya dengan 100 persen siswa lulus justru dinilai kurang efektif mendongkrak mutu lulusan dan pendidikan. Saya belajar lulus tidak belajar juga lulus. Belajar dan tidak belajar semua lulus 100%. Jadi buat apa belajar. Maka, jadilah kita bangsa yang kesejahteraannya rata-rata do bawah negara lain.(Sumber Indopos – Selasa, 4 Juli 2006)
Berita Selengkapnya !

Bisnis di Internet